Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Tuesday, 12 April 2011

Briptu Norman, Catatan Tentang Advokasi Publik

Oleh: Kamilia Hamidah  

Bermula dari sebatas keisengan meng-unggah video pendek ke media youtube, yang diberi judul ‘POLISI GORONTALO MENGGILA’ yang berdurasi 6 menit 30 detik, melambungkan nama Briptu Norman pada seantero negeri, Norman yang kala itu hanya bermaksud menghibur rekannya yand dalam kondisi depresi karena masalah keluarganya. Tidak lama video lip-sync lagu India Chayya..chayya…chayya…ini membuatnya hampir mendapatkan sangsi militer dari Mabes Gorontalo beberapa waktu lalu, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menghambat proses kenaikan pangkatnya atau lebih sadis lagi di nonaktifkan. Ah, sadis sekali..!!

Wednesday, 16 March 2011

The Challenge of Political Realism in Egypt Revolution

The Jasmine Revolution was not far behind the scene of the history and yet another revolution has swept another Arab country and it has been so far successfully forcing the 30 years reign of Hosni Mubarak to step down from his post. Unlike Tunisia, Egypt was one of US important ally in this region, particularly to support US interest to prevent the growing fundamentalism in this region that might become a hurdle toward Israel-Palestinian Peace process.

Within realist paradigm, naturally a weaker state seeks protection from a stronger state, in response to a potential threat from an adversary, where a stronger states acts in self-interest, protecting the resources of the weaker state from incursion by the foe.

Wednesday, 2 March 2011

Kearah Mana Transisi Mesir Berkiblat? Indonesia atau Iran

Setelah revolusi Mesir beberapa waktu lalu berhasil membuat Husni Mubarak bertekuk lutut untuk meletakkan kekuasaannya, tidak jelas apakah mundurnya Mubarak yang di sampaikan oleh Omer Suleiman tersebut atas kemauan Mubarak sendiri, atau karena tekanan dari pihak militer Mesir saat itu, yang mana aksi tuntutan para demonstran tersebut tidak dapat di tawar lagi.Sebuah pertanyaan yang layak di pertanyakan saat ini adalah, apa kelanjutan dari revolusi ‘Hari Kemarahan’ tersebut? Akanlah Mesir akan berkiblat ke arah Indonesia atau Iran, sebagaimana banyak di khawatirkan oleh negara-negara yang menanam kepentingan strategis di Negeri Fir’aun ini. 

Wednesday, 2 February 2011

Dari Tunisia menuju Mesir; Akankah membawa Perubahan di Timur Tengah

Revolusi Melati di Tunisia masih belum sepenuhnya hilang dari pemberitaan media, antara apa dan bagaimana akhir dari revolusi itu sendiri sampai saat ini masih belum seutuhnya lengkap terangkum dalam sejarah. Dari Tunisia, akankah akan membawa angin segar untuk memunculkan tuntutan perubahan di negara-negara Timur Tengah, -Mesir, tentu saja saat ini yang masih di guncang protes, Jordan, Yaman, Algeria dan Libya- menuju sistem pemerintahan yang lebih representatif dan aspiratif di mata rakyatnya?

Friday, 4 June 2010

The Next Pattern of Conflict; The Clash of Civilization

The article was review of Samuel. P. Huntington's thesis The Clash of Civilization, where the thesis outlines a future where the "great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural" and not primarily on the basis of ideology or economic. And the clash of civilization will dominate global politics.

Conflict between civilizations will be the latest phase in the evolution of conflict in the modern world. Prior to the Treaty of Wesphalia the global conflict were mainly between emperor, absolute monarch that attempting to expand their bureaucracies, armies, economic and above all their territory, until the emergence of France Revolution, trend of conflict slightly shifted into conflict between nations rather than princes, until it was the culminating on First World War ended into ideological conflict, first among communism, fascism-Nazism and liberal democracy and then communism and liberal democracy during the so called Cold War era.

Monday, 31 May 2010

The Security Dilemma

This article mainly a review from what has been written by John H. Herz

The security dilemma or Power and security dilemma is a social constellation in which units of power (such as states or nations in international relation) find themselves whenever they exist side by side without higher authority that might impose standards of behavior upon them and thus protect them from attacking each other.

From above definition, the security dilemma regard as an overestimate threat of a states or nations security of the persistence threat of feeling insecurity that might come from outside.

It appear by the state behavior of feeling insecurity that derived from mutual suspicion and mutual fear, this feeling compel this units to compete for more power on order to find more security. The consequence would be the states or nations as a unit tend to acquire more power as to find more security, an effort which ultimately unobtainable, because complete security is impossible.

The impacts of security acquisition by a unit obviously impose the threat on insecurity for other unit. Because the fact by other makes him appear to them as their potential enemy. Thus, there arises a mutual constellation or mutual suspicion and a mutual dilemma: the dilemma of ‘kill or perish’ of attacking first or the running the risk of being destroyed.

The power and security dilemma thus affect the relationship between all groups, the relation between states would be based on suspicion, and particularly if one a unit develop its defense capability to minimize the feeling of insecurity it might lead to the other unit of being attack.

The security dilemma also called ‘predicament of Hobbesian fear’ that is a grand dialectical jam of a kind that exasperate men. It can be illustrated as two enemies, armed with handgun or pistols locked in one room though both of them would like to throw the pistols out of the window, but yet it defeats the intelligent to find the way of doing so. Hence, in international affairs it is this situation that has hitherto defeats all the endeavor human intellect. However, even if a nation could based the international relation on mutual understanding, yet how could it trust the continuance of good intentions in the case of collective entities with leaders and policies that forever changing with difference circumstances.

Monday, 3 May 2010

World Politics as Primitive Political System

In this article Roger D. Master use a set of comparison to explore the structure and functioning of the international system.

He started with an argument why it is important to compare international politics with primitive political system. Depart from this argument he further give three important reasons which, firstly, as an attempt to bridge the gap between political science and anthropology, since the political aspects of primitive society have often been imperfectly analyzed. Secondly, in the history of political philosophy, the idea of ‘state of nature’ play important role in shaping the political system, although political anthropologist regard the notion of ‘state of nature’ never existed. Thirdly, the concept of diplomacy in primitive society would have to comprehend the rivalry and warfare in the primitive society.
II. Similarities between Primitive and International Politics:

Monday, 5 April 2010

Sebuah Legasi

Sebetulnya saya tidak suka menuliskan ini semuanya, mungkin karena ego saya sebagai seorang student yang profesornya dengan semena-mena merubah-rubah tugas yang sebelumnya kami sepakati bersama. Whateverlah, mungkin dia tipikal dosen yang authoritative..but somehow, akhirnya saya menulis juga, tentang perjanjian Yalta Agreement yang banyak kalangan mengira perjanjian ini sebagai tonggak sejarah pergolakan perang dingin karena basis perbedaan ide0logi.

Memang dalam kamus politik pepatah yang sangat terkenal adalah ‘no everlasting enemy, what remain is national interest’. Alied Forces yang dikenal dengan perpaduan gabungan antara kekuatan Ingris, Amerika Serikan dan Perancis akhirnya berhasil duduk bersama untuk menggagas sebuah persetujuan yang nantinya sebagai penentu masa depan negara-negara Eropa setelah berakhirnya masa kekuasaan Nazi Jerman.

Pertemuan ‘the big three’ dalam di Yalta sebuah resort yang ada di kawasan Crimea, berhasil membujuk Uni Soviet untuk masuk dalam entity Allied Forces, terlebih setelah Jerman waktu itu berhasil menduduki Poland, sebuah negara yang tentunya perbatasaannya paling dekat dengan Uni Soviet.

Bagi Josef Stalin (PM Uni Soviet pada waktu itu) bargaining untuk masuk ke kelompok Allied Forces ini adalah semata karena posisinya Uni Soviet yang sudah mulai terancam, mungkin lebih tepatnya sebagai upaya preventif. Sementara dari perjanjian ini pula, Uni Soviet bersedia untuk menyerang kekuatan Kerajaan Jepang yang pada masa itu hampir seluruh kawasan Asia Tengara, termasuk Indonesia jatuh di bawah kekuasaan Jepang.

Dengan bom Herosima dan Nagasaki akhirnya menandai berakhirnya Perang Dunia II dengan kekalahan Jerman dan Jepang, Sampai Perjanjian Yalta akhirnya disepakati bersama oleh ‘the big three’ yang di wakili oleh PM Josef Stalin dan Uni Soviet, Winston Churchil dari Ingris dan Roosevelt dari Amerika Serikat.

Perjanjian ini diantaranya mengatur pembagian wilayah negara bekas jajahan Jerman, pembagian Jerman menjadi 4 zona, masalah masa depan negara-negara di wilayah Eropa, yang sebagian besar dibawah pengaruh Uni Soviet, diadilinya penjahat perang dengan dibukanya Nuremberg Trial yang mengadili Adolf Hitler, penghapusan Nazi dari Jerman, mengajak Uni Soviet untuk bergabung dalam PBB (United Nation) dan janji Stalin untuk melangsungkan pemilihan umum secara bebas dan demokratis, di negara-negara yang ada di bawah kekuasaan Uni Soviet.

Janji adalah janji, berkuasanya pasukan Red Army (Pasukan Uni Soviet) di wilayah Poland semakin menguatkan pengaruh komunisme di negara ini, Provisional Governement yang ada di Poland yang pro komunis menjadikan pemilihan umum terlaksana dengan tidak mengikutsertakan kekuatan demokratis Poland yang ada di luar Poland.

Hampir 60 tahun ketegangan perang dingin mengubah strategi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari Isolationist ke Interventionist, demi sebuah kebijakan yang dinamakan Policy of Containment, padahal jika di lihat secara kasat mata, wilayah Amerika Serikat secara geografis sangatlah aman, karena hampir semua wilayahnya berbatasan dengan perairan samudra yang luas, sehingga kalaupun terjadi sebuah agresi militer, tentu memerlukan dana dan tenaga yang tidak sedikit. Paska tahun 1945 hampir tiap pergolakan yang ada di beberapa negara di belahan bumi ini adalah sebentuk proxi war yang mengatasnamakan perang melawan idealisme.

Sebut saja, Krisis Cuba, Perang Vietnam, Kudeta Iran yang menaikkan Shah Iran atas oponen politiknya Musaddeg yang sudah jelas pro terhadap komunis, Mujahidin Afghanistan yang berakhir pada porak-porandanya Uni Soviet dan terpecahnya negara Asia Tengah menjadi empat negara baru, kesemuanya itu adalah contoh nyata yang mungkin sampai sekarang masih berbekas. Dalam kasus Indonesia, tumbangnya Pemerintahan Soekarno juga tidak luput dari covert action, layaknya yang terjadi di Cuba untuk menumbangkan Fidel Castro, hanya mungkin perbedaannya di Cuba, Fidel Castro makin popular karena berhasil menumpas pemberontak yang di training oleh CIA sementara di Indonesia Soekarno ‘katanya’ dengan suka rela menyerahkan kekuasaannya. Embuhlah..karena sejarah ada di tangan penguasa.

Kali ini, perang melawan ideology tersebut terus mengalir, mungkin versus ideologi yang lain, sampai mungkin tesis the end of history nya Fransis Fukuyama akan jelas terbukti, and God knows where it will ends..mungkin ada benarnya bahwa global politic itu masih seperti pemerintahan primitif yang menjunjung konsep might is right-nya Thomas Hobbes di State of Nature, dengan menghalalkan berbaga cara. Saat ini perang terorisme masih terus berlanjut..entah sampai kapan, mungkin sampai ada ideologi lain yang juga mengancam interest suatu negara... so far negara mana?? masih absurd..

Tuesday, 23 March 2010

Opini Publik dan Soft Power

'If you can divert the public opinion, there is something you get what money could not buy' sejenak mungkin terdengar sederhana, tapi tentu bisa dicermati secara seksama dalam fenomena kekinian, baik itu yang bersangkutan dengan politik dalam negeri atau dalam pola hubungan internasional antar negara.

Di era globalisasi ini, tentu dapat di pahami adanya pergeseran trend di percaturan politik global, dimana jika dulu sovereignity of state, kedaulatan suatu bangsa adalah sebuah harga mati yang tidak bisa di gadaikan, kini, dengan arus globalisasi sedikit demi sedikit mengikis state sovereignity sehingga relasi intra-state dan jaringan transnasional dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja. Jika dulu interdependen antar negara diartikan dengan hubungan internasional, saat ini bergeser menjadi istilah relasi global atau global relation.

Lantas apa hubungannya dengan opini publik? sebetulnya opini publik ini berhubungan dengan kepiawaian suatu negara untuk dapat berkiprah di jalur internasional, berpindahnya pola sistem politik global dari bipolar menjadi multipolar menuntut masing-masing negara untuk dapat memberikan andil positif di percaturan internasional. Meskipun pada kenyataannya dalam fenomena multipolar ini di dominasi oleh sistem unipolar yang di mainkan oleh Amerika Serikat.

Membangun opini publik tidaklah semudah permainan survey, tapi bagaimana opini publik ini terbentuk sehingga dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi suatu negara atau individu tanpa harus bersusah payah untuk berkonsentrasi dalam hard power. Sebut saja perang melawan jaringan Teroris Global, kebijakan-kebijakan yang di ambil USA telah berhasil membentuk opini publik global sedemikin rupa sehingga hampir semua negara mau tidak mau turut sertadalam agenda Perang Terorisme ini.

Begitu pula kemenangan Presiden SBY dalam pemilu terakhir lalu, banyak di dukung dengan jaringan-jaringan lembaga-lembaga pooling dan survey, sehingga sedikit banyak berhasil mempengaruhi opini publik. Meski demikian tentu saja membangun opini publik tidak semudah lembaga survey mempublikasikan hasil survey lapangannya, tapi lebih dari itu, opini publik di bangun atas dasar soft power yang senantiasa berjalan secara berkesinambungan, karena mustahil seseorang dapat membentuk opini publik yang sedemikian rupa tanpa kerja keras.

Tulisan ini adalah wacana Global Public Opinion yang di sampaikan dalam sebuah seminar internal study grup yang di hadiri oleh penulis beberapa waktu lalu, semoga bermanfaat.

Tuesday, 23 February 2010

Islam as A Theory of International Relation

An Article Written by: John Turner, 3 August 2009
An Article Review Written By: Me

This article was written in response to the book written by J. Harris Proctor, where he argued in his book Islam and International Relations, that Islam is irrelevant as a subject of inquiry within the study of International Relations has clearly been demonstrated to be a false proclamation in light of the events over the course of the last half century.

In this article John Turner very broadly elaborate the significance trends occurred in the Muslim world particularly in theorizing the concept of International Relation characterized through various phases. And how the notion of Islam could be influential in international affairs, that somehow it needs to be as an independent subject to study because Islam unlike the Wesphalian theory of state system and as an approach of itself and on itself stand on different ground, not on the basis on any positivist theory. He then characterized different trend in term on international relation emerged in the Muslim world as a result of prevailing political trend in a particular era.

He further explain that Islamic International Relation is systemic theory where it emphasis on the concept of world order that focuses on the relations between the Muslim/Arab and the non-Muslim/Arab sphere and how that realm should be ordered and not how state interact among each other, therefore the term Daar Islam and Daar Harb, the concept of Umma (community of believers) and Assabiya (group feeling) are well known among Muslim political thinkers. However it was easy to identify this concept in the earlier of Islamic development until and at last with the disrememberment of Ottoman Empire it was then difficult for the Muslim to build solid bloc on the basis on Muslim umma, and particularly with the fall of many ex-Ottoman Empire's territory was subjugated in the hand of colonial power.

Upon this end, there has been polarization in the Muslim community in conceptualizing the theory of Islamic International Relation in which the writer characterized it as follow:
The first Islamic debate was a product of Islam’s formative years characterized by persistent conflict, where initially was defensive in nature and later offensive. As the new religion struggled to survive and then propagate the faith through force a particular attitude was entrenched in the minds of Islamic scholars. Thus the faith was connected with war and survival, like the Hobbesian state of nature, which perceived an insecure world laden with violence and an eternal existential struggle which defines the human experience, so to do the thinkers who influenced the traditionalist school of Islamic International Relations.
The second debate began towards the end of the 19th century as the Islamic world became increasingly encroached upon by European power, culture and ideas. Here three attitude among Muslim thinkers were there, either to adopt, adapt or to reject.
Those thinkers challenging the long sustained traditionalist approach by asserting that the Islamic world was no longer capable of supporting trans-nationalism and universalism. They began to advocate a position that mediated between the modernists who sought to fully engage with Western civilization and the traditionalists who would take a rejectionist stance in an attempt to preserve the purity of the Islamic world.
The first traditionalist theories were forged in Islam’s Hobbesian origins, the second debate and the rise of non-traditional thinking the product of encounters with Europe, the third a traditionalist backlash resulting from a feeling of disenchantment and marginalization caused by European colonialism and the post colonial disorder.
The contemporary period could best be described as a fourth debate that may speak to a struggle for the Muslim world to define itself or struggle for Muslim identity. This trend unlike the previous trend was not as a result from the opposition from traditionalist and non-traditionalist paradigm nor it a result from the global political trend, rather it tends to be perceived influence to bring about global change. This trend appear to be new wing of traditionalist school in which apparently more radical than even the radicals of the traditionalist school such as the Muslim Brotherhood.
Al Qaeda as an ideology that has emerged from the thinkers like those of the Muslim Brotherhood, influenced by both the traditionalist and non-traditionalist side of Islamic International Relations.
Al Qaeda’s ideology contains elements of both Salafi and Jihadi thought. It embodies certain key concepts that differ from the broader range of traditionalist scholarship such as that embraced by the Muslim Brotherhood.
But somehow in his lengthy explanation of his article, indeed he has contributed good remarks to convince the reader about the reality of the Muslim world and it needs to be studied distinctively on its own not on Western term, and the current political trend Islamic International Relation has been influential as a catalyst of political thought within and more recently outside of the Islamic sphere. In fact Islam as it has been demonstrated here is even more than just a subject of study for scholars of International Relations; it is a theory in its own right.
Westphalian state system are only one type of tool of analysis and positivist and post positivist modes of inquiries don’t necessarily represent finite epistemological boundaries. Where an ontological position believed to be divinely inspired may be out of place in the traditional understandings of orthodox political theory it does not render such an approach invalid. To truly grapple with many of the most perplexing questions regarding global terrorism theorists need an Islamic theory of International Relations along side Orthodox thinking if we are to move beyond our theoretical confines.

Tuesday, 19 January 2010

TRANSFORMASI INDONESIA ; Menuju Stabilitas Demokrasi dan Demokrasi Kesejahteraan

Oleh: Kamilia Hamidah
Pendahuluan

Krisis 1998 diwarnai dengan merebaknya berbagai macam tuntutan dari masyarakat luas sampai pada puncak mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan sebelum berakhir masa jabatannya. Peristiwa ini pula dianggap sebagai tonggak awal reformasi di Indonesia menuju proses demokratisasi yang sesungguhnya.

Berakhirnya rezim Orde Baru juga diramaikan dengan berbagai macam konflik sosial yang hampir serentak terjadi di beberapa belahan wilayah Indonesia, baik itu konflik yang bersifat SARA maupun, yang murni politik, belum lagi terror bom yang meresahkan masyarakat pada umumnya. Ketidakstabilan sosio-politik ini semakin parah dengan krisis finansial yang telah sampai pada puncaknya, keadaan ini semakin buruk dengan bertambahnya persentase pengangguran, yang semakin memperbanyak terjadinya aksi kriminalitas di dalam negeri

Keoptimisan para analisis politik Indonesia, yang diprediksikan Indonesia akan menjadi mercusuar demokrasi ke negara-negara muslim (seperti yang dikatakan oleh Robert W. Hefner dalam bukunya Civil Islam, Muslim and Democratization in Indonesia, 2001) tampaknya kandas dengan krisis 1998 ini. Dengan pasar domestik dan industri menufaktur yang besar, Indonesia pada awal abad ke-21 dinggap akan masuk pada jajaran negara-negara ekonomi maju, hingga pada akhir 1998, bagaimanapun juga, prestasi ini akhirnya kandas. Krisis finansial yang merebak dikawasan Asia Timur pada Agustus 1997 memberikan implikasi terberat bagi Indonesia pada khususnya, sehingga anggapan ini kemudian berubah menjadi kepesimisan mendalam dari para analisis, karena dengan peristiwa ini memungkinkan akan membawa Indonesia kearah balkanisasi dan disintegrasi. Terlebih lagi dengan lepasnya Timur Leste dari NKRI pada masa Kepresidenan B.J. Habibie yang semakin menebar benih disintegrasi di dalam negeri

Dari sini, setelah hampir delapan tahun dari transisi reformasi, marilah kita bersama-sama menelaah, bagaimana demokratisasi bangsa Indonesia pada saat ini, seiring dengan trend era politik kemasyarakatan (civil society), yang dengan berakhirnya Orde Baru banyak diperjuangkan oleh banyak kalangan cendekiawan Indonesia. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyodo, bahwa apa yang baik kita teruskan dan apa yang kurang baik maka kita perbaiki, tanpa mencela usaha yang telah diperjuangkan oleh para pendahuku kita.

Perkembangan Demokrasi Indonesia

Untuk membangun suatu sistem politik demokrasi yang mapan, tentunya memerlukan sebuah tatanan yang rapi, berkesinambungan, kadangkala juga revolusioner, kendati akibatnya memerlukan biaya politik yang tinggi. Tampaknya perjuangan kemerdekaan Indonesia yang kita raih sejak tahun 1945 tidak terlepas dari perjuangan panjang para pendahulu kita, yang diawali pada tahun 1908 dengan tercetusnya Pergerakan Budi Utomo, sehingga menggerakkan nafas kebangkitan nasional pertama, dari situ kemudian tercetuslah Sumpah Pemuda 1928, sebagai tonggak perjuangan bangsa Indonesia menujua kemerdekaan.

Belajar dari masa lampau, maka kita dapati ada dua pola kultur politik yang sangat ektrem dalam masyarakat Indonesia; Pertama, berupa kecenderungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas (unlimited freedom) yang dengan mudah berubah menjadi konflik internal, akselerasi konflik ini kerapkali berakhir dengan bentrokan fisik atau pemberontakan. Kedua, berupa pola kultur politik yang cenderung ingin melumpuhkan konflik sama sekali, seperti fenomena yang terjadi pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin atau dikenal dengan Orde Baru.

Kemudian fase selanjutnya, pada tahun 1966, ketika pada masa itu konflik yang muncul dikarenakan eksperimen bangsa Indonesia dalam berpolitik menganut dua sistem perpolitikan, apa yang desebut sebagai demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin, memicu konflik politik berkepanjangan disebabkan karena konfrontasi ideologi, hingga pada puncaknya peristiwa G 30 S/PKI yang banyak memakan korban jiwa. Dari peristiwa ini kemudian memunculkan banyak tuntutan dari masyarakat untuk kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah diakui bersama sebagai pedoman negara Republik Indonesia.

Dari tuntutan untuk kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, kemudian membawa bangsa Indonesia pada pola baru pada pembangunan kultur politik bangsa kita, dengan tema utama menyadarkan masyarakat untuk melaksanakan demokrasi Pancasila secara murni dan tepat. Tema sentral ini sangat jelas terlihat pada GBHN 1993 bahwa sasaran pembangunan nasional adalah terciptanya dan berfungsinya tatanan kehidupan masyarakat berdasarkan demokrasi Pancasila yang mantap dan dinamis, dengan kualitas manusia dan masyarakat yang tinggi, serta bersikap dan berperilaku sesuai nilai Pancasila dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang berwawasan Nusantara. Namun, perjalanan menuju tercapainya sasaran pembangunan tatanan kehidupan kultur politik yang konstitusional tersebut, tidak lepas dengan berbagai tantangan, baik itu dibidang politik, HAM, ekonomi, sosial, budaya yang secara tidak langsung menimbulkan citra yang merugikan bangsa Indonesia.
Masa pemerintahan Orde Baru ditandai dengan pola demokrasi semu, dimana proses pemilihan umum cenderung dimanipulasi oleh partai penguasa, melahirkan tradisi dominasi negara atas masyarakatnya sehingga melemahkan civil society, karena menguatnya civil society akan memberikan pengaruh negatif pada stabilitas dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sehingga pola hubungan antara negara dan masyarakat menjadi amat timpang, dominatif dan dihegemoni oleh negara. Dengan reformasi 1998 yang menurunkan hegemoni negara, ternyata belum mampu menghasilkan sebuah tatanan civil society yang solid. Sehingga proses menuju ke sistem yang lebih liberalis dan demokrastis ini malah menguatkan egoisme dalam masyarakat Indonesia, yang ditandai dengan menguatnya egoisme putra daerah yang melahirkan beberapa catatan konflik berdarah di Sampit dan Sampang, meluasnya gerakan separatisme di Aceh dan Papua, menguatnya egoisme keagamaan seperti konflik Poso, hingga lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Demokratisasi Indonesia

Pada banyak negara keberhasilan proses demokrasi dalam suatu negara ditentukan oleh empat faktor, antara lain, pola hubungna yang harmonis antara negara dan masyarakat, terbangunnya kepercayaan antara elite, terselenggaranya pemilu yang jurdil dan bebas untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin yang baru, serta tersusunnya aturan main atau konstitusi yang menggambarkan dinamika kehidupan sosial politik yang baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada kasus Indonesia, setelah delapan tahun Indonesia melewati masa transisi menuju demokratisasi yang sesungguhnya, pada tanggal 20 September 2004 terjadilah peristiwa yang menarik bagi proses demokratisasi di Indonesia, peristiwa pemilihan umum legislatif dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, cermin dari proses demokrasi kearah yang lebih matang dan dewasa. Ada beberapa titik poin yang perlu kita garisbawahi dari proses pemilihan umum ini, diantaranya; pemilihan legislatif, calon presiden dan calon wakil presiden secara langsung, peristiwa ini juga cermin demokratisasi di Indonesia dan terlaksananya pemilihan umum dalam situasi yang aman damai dan terlaksana secara jujur dan transparan, mengantarkan Indonesia pada kedewasaan berpolitik.

Lantas dengan tercapainya demokrastisasi ini, apa yang menjadi tantangan bangsa Indonesia menuju stabilitas demokrasi itu sendiri? Menjawab pertanyaan ini, tantangan yang paling utama adalah menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat (strong state), yang artinya, negara yang ditopang oleh aturan-aturan main yang demokratis dan penegakan hukum tanpa pandang bulu (fair referees, fair law enforcement), dan negara yang dalam penyelesaian masalah cenderung menggunakan cara-cara yang damai, bukan mengandalkan kekerasan. Mungkin kita lihat bahwa proses menuju strong state ini jelas terformat pada masa pemerintahan transisi Presiden Abdurrahman Wahid, mengingat beberapa kebijakan kontroversial yang diambil oleh Gus Dur, seperti, keputusan untuk membubarkan Departemen Penerangan, dengan alasan agar masyarakat Indonesia memilih dan menggunakan informasi yang mereka ingin kembangkan sendiri tanpa campur tangan pemerintah, dan masih banyak lagi beberapa kebijakan-kebijakan lainnya, yang memberikan indikasi bahwa presiden memimpikan terselenggaranya institusi yang kuat (stong state) sebagai prakondisi tumbuhnya era kemasyarakatan (civil society) di Indonesia. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ketika element strong state tersebut dapat terimplementasikan secara baik dan berkesinambungan maka akan terbentuk apa itu yang disebut sebagai instrututional trust dalam masyarakat yang nantinya akan membawa pada masyarakat Indonesia pada era Civil society.
Tumbuh kembangnya civil society dalam suatu masyarakat biasanya ditandai oleh semaraknya masyarakat sipil, dimana penghormatan terhadap nilai-nilai universal (keadilan, kemakmuran, kebangsaan) lebih menonjol dibandingkan dengan nilai partikularistik atau primordial (agama, etnis dan lain-lain) di arena perpolitikan, juga ditandai dengan berkembangnya public podium dan bukan public mobilization sebagai sarana menyelesaikan berbagai macam konflik secara damai. Selanjutnya, pemberdayaan politik kemasyarakatan menuju kultur politik yang dapat diandalkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengembangkan diri atau kapasitasnya secara terus-menerus dan juga kemampuan untuk mengatasi berbagai macam krisis yang membahayakan dari waktu ke waktu.

Pembangunan Kultur Politik Kemasyarakatan
Menuju pembangunan kultur politik kemasyarakatan tentu saja dibutuhkan proses yang mendukung terbentuknya sebuah masyarakat madani, disini ada beberapa dimensi yang perlu diperhatikan dalam upaya terciptanya kultur politik kemasyarakatan, diantaranya; Pertama, dengan upaya konsolidasi setiap komponen infrastruktur politik, ekonomi serta sosial budaya, sehingga potensi dan kekuatan yang ada dalam tubuh bangsa dapat mempersiapkan diri melaksanakan perannya untuk menyukseskan tercapainya pemberdayaan sumber daya manusia yang mandiri, unggulan dan kompetitif. Kedua, perlunya diciptakan suasana serta mekanisme kebersamaan dan keterbukaan yang akan mendorong derap dinamika yang sudah ada dalam masyarakat, kearah yang lebih produktif, efektif dan efisien. Ketiga, terus-menerus dilakukannya kajian kecenderungan perkembangan keadaan baik didalam maupun diluar negari yang dapat memberikan peluang ataupun hambatan gerak dinamika bangsa dan menyiapkan kebijakan yang dianaut untuk menghadapinya.
Perlu digarisbawahi disini, bahwa dimensi pembangunan kultur politik yang tersebut mempunyai dimensi keterkaitan, sehingga ketiga-tiganya diharapkan dapat berjalan saling menopang satu sama lain yang perputaran dimensi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi negara, dalam kapasitasnya sebagai institusi tertinggi, agar dapat menjamin demokrasi politik kemasyarakatan ini tetap stabil sehingga dapat menopang tumbuh kembangnya demokrasi kesejahteraan atau demokratic prosperity. Tentu saja, perputaran tiga dimensi tersebut tidak bisa begitu saja bergulir tanpa memperhatikan beberapa aspek dominan yang memberikan pengaruh dalam proses pembangunan politk kemasyarakatan yang demokratis, dari beberapa aspek tersebut diantaranya, ideologi dan budaya politik, dengan jalan peningkatan pemahaman bahwa ideologi bersama adalah ideologi terbuka dan demokratis, dari segi struktural dan lembaga politik; dengan meningkatkan kapabilitas lembaga-lembaga yang ada, baik supra maupun infra agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dari segi partisipasi dan komunikasi politik; dengan jalan pengembangan suasana keterbukaan masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya, faktor-faktor non-politik; dengan proses penyelarasan, mengimbangkan dan mengharmoniskan pembangunan kultur politik dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Dan yang terakhir ini merupakan tantangan terberat bagi institusi pemerintahan, karena mengharmoniskan pembangunan kultur politik dangan pembangunan ekonomi memerlukan biaya yang tinggi, dan itu melibatkan seluruh aktor baik itu yang bersifat supra maupun infra.
Penutup
Dengan tercapainya kultur politik kemasyarakatan (civil society), maka dimasa yang akan datang akan mengantarkan Indonesia pada proses pendewasaan demokrasi yang matang (mature democracy). Tentu saja semua itu membutuhkan proses gradual yang melibatkan kesadaran pada segenap lapisan masyarakat untuk dapat turut andil dalam proses stabilitas demokrasi, dan stabilitas demokrasi ini dapat terus berjalan dan berkembang seiring dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan kemajuan ekonomi, dengan cara peningkatan kesadaran politik kemasyarakatan dan good governance
Sebagai penutup tulisan ini, mengutip pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan beliau pada pembukaan CNBC Strategic Forum 24 Januari 2005 yang lalu, beliau mengemukaan bahwa kesuksesan pembangunan nasional secara keseluruhan terletak pada sejauh mana efektifnya hubungan dan kombinasi antara demokrasi dan good governance, karena demokrasi tidak muncul secara bersamaan dengan good governance, begitupula demokrasi tidak serta merta memberikan jaminan terwujudnya kedamaian, kemakmuran, keamanan, kesamaan dan integritas kebangsaan pada kita, karena semua hal yang berharga tersebut akan dapat terwujud jika demokrasi dilengkapi dengan good governance.
Ketika tidak ada keterkaitan antara demokrasi dan good governance, maka apa yang kita sebut ’demokrasi’ menjadi cacat dan tidak berfungsi, sehingga kerapkali kita dapati contoh dari beberapa negara, dimana demokrasi menjadi tidak stabil, demokrasi dalam kemunduran, demokrasi dalam regresi dan demokrasi yang hancur dikarenakan oleh konflik dan kemiskinan (poverty). Dengan tumbuhnya hubungan yang sehat antara demokrasi dan good governance, maka tidak terelakkan akan terwujudkan apa itu yang beliau istilahkan sebagai stabilitas demokrasi dan kesejahteraan demokrasi (democratic stability and democratic prosperity), dan dari sinilah demokrasi dapat memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik dan kebebasan bagi warga negaranya.

Disampaikan Pada Seminar Grand lounching
Forum Study ke-Indonesiaan
Persatuan Pelajar Indonesia Islamabad
26 Agustus 2006

Saturday, 12 August 2006

Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi Politik

Ketika mendengar ungkapan "politik global" yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh di dunia global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antar kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, seperti yang kita saksikan dalam pertempuran-pertempuran di Afghanistan dan Iraq. Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.

Seperti kata Marly Cardor (2001), pada masa perang dingin yang terjadi adalah perang antar negara-negara besar di dunia global. Negara, masih kata Marli, mempunyai wilayah territorial geografis yang mudah dikenali, sehingga perang yang terjadi sifatnya terbatas. Masa paska perang dingin yang ditandai dengan disintegrasinya Uni Soviet, lahir pola tatanan sistem internasional dengan munculnya sistem bipolar dengan lahirnya Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa, kini dunia mengenal corak dalam percaturan internasional yang dikenal dengan politik global. Isu politik global adalah bukan suatu yang baru dalam percaturan politik internasional karena pada dasarnya bibit politik global telah muncul sejak didirikannya league of nation dengan pionernya Woodrow Wilson, dengan konsep-konsep open government, self-determination dan juga konsep collective security yang kemudiaan dikembangan menjadi sebuah paradigma baru yang dikenal dengan paradigma idealisme, kemudian muncul paradigma yang intinya pengembangan dari idealisme seperti halnya liberalisme dan internasionalisme yang mengangkat isu-isu global.

Tragedi 11 September 2001 ditandai dengan difokuskannya isu global kepada agenda perang melawan terorisma "War against Terorism", perang baru yang terjadi adalah antar kekuatan-kekuatan besar dunia dan bukan lagi antar negara tertentu. Perang itu ternyata lebih kompleks karena yang terjadi tidak hanya pertempuran-pertempuran antar kekuatan bersenjata yang menelan banyak korban sipil, tapi juga perebutan otoritas, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasoinal serta perang peradaban dan kultur di dunia global yang tak lagi terbatasi oleh wilayah territorial. Maka sering dikatakan bahwa berakhirnya perang dingin adalah mulainya era globalisasi dalam arti sesungguhnya.

Peta Kekuatan Politik Global

Globalisasi telah menciptakan berbagai masalah dan kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate. Terkadang justru kepentingan sebuah negara sendiri tidak akan bisa terpenuhi kecuali dengan mengkondisikan external sebagai support kepentingan domestik. Maka politik global tidak lain adalah pergulatan global dalam mewujudkan kepentingan para aktor yang menjalankannya.

Siapa yang berperan dalam permainan politik global ini? Peta atau format politik dunia berikut aktor globalnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, negara-negara yang dipetakan secara dikotomis, yaitu negara-negara negara-negara besar dan negara-negara kecil, negara-negara maju dan negara-negara berkembang, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara militer, negara-negara yang berdiri sendiri atau yang bergabung dengan negara lain, dan lain sebagainya.

Kedua, organisasi-organisasi antar-pemerintah (IGO atau Inter-Governmental Organizations), seperti ASEAN, SAARC, NATO, European Community dan lain sebagainya.

Ketiga, perusahaan internasional yang dikenal dengan Multinational Corporations (MNC) atau Tansnational Corporations atau Global Firms. Perusahaan-perusahaan ini dengan modalnya yang besar dan bersifat deteritorialis meluaskan jaringannya ke segala penjuru dunia. Pemerintah khususnya negara-negara berkembang merasa perlu mendapatkan modal dan teknologinya. Fenomena pengaruh George Soros terhadap kebijakan politik global merupakan contoh dari peran perusahaan internasional dalam percaturan politik global.

Keempat, organisasi internasional atau trans-nasional yang non pemerintah (INGO, International Non-Governmental Organizations) seperti Palang Merah Internasional didirikan tahun 1867, Workingmen's Association (Socialist International) tahun 1860an, International Women's League for Peace and Freedom. Yang konvensional seperti: Vatikan, Dewan Gereja-gereja Sedunia, Rabiyatul Islamiyah. Yang moderen seperti Amnesty International, Green-peace International, World Conference on Religion and Peace, World Federation of United Nations Associations, Trans-parency International, Worldwatch, Human Rights Watch dan Refugee International. Organisasi global ini lebih tepat disebut aktivis profesional. Pendapat umum dan kebijakan dunia ternyata banyak sekali dipengaruhi oleh organisasi aktivis ini. Gagasan-gagasan mereka banyak disalurkan melalui media massa elit dunia, seperti International Herald Tribune, The Guardian, Time dan The Economist.

Kelima, organisasi-organisasi non-formal, rahasia, dan setengah rahasia. Umpamanya: mafia, teroris, pembajak, penyelundup, preman global, tentara bayaran, hacker komputer dan mungkin juga organisasi semacam Al-Qaeda.

Peta Kepentingan dalam politik global

Dalam percaturan politik global pengaruh negara-negara maju sangat kuat. Ini kerena mereka mempunyai kepentingan dalam dunia global yang sangat besar, baik itu ideologis seperti kepentingan dunia Barat untuk mengekspor demokrasi seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa liberal demokrasi akan menjadi kulminasi percaturan ideologi dunia, ekonomis seperti kepentingan untuk mendapatkan sumber mineral dan bahkan pasar untuk menjual produk dan bahan baku. Kepentingan keamanan untuk menciptakan tatanan global yang melindungi keamanannya dengan melakukan pengawasan senjata juga merupakan salah satu kepentingan Barat yang amat vital. Sebagaimana mengutip thesis clash of civilization-nya Samuel Huntington bahwa konflik yang akan datang pada akhirnya akan menjadi konflik antara the west vs the rest, yang ini menunjukkan kepentingan kultur new nation yang kerapkali dibanggakan oleh America Serikat sebagai kebanggaan budaya (cultural dignity) masyarakat Barat yang menjadi simbol peradaban dunia juga menjadi salah satu kepentingan yang mereka perjuangkan. Infrastruktur yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi dan modal yang besar semakin memperbesar peran mereka dalam percaturan politik global.

Hegemoni Barat dalam percaturan politik global yang sedemikian kuat ini, sehingga menjadikan mereka sebagai aktor utamanya telah menimbulkan persepsi kuat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah munculnya kolonialisme dan imperialsme baru. Seperti halnya kebijakan-kebijakan luar negeri AS, khususnya paska 11/9 sangat jelas terlihat bahwa ia ingin menjadikan sistem dunia yang mendukung dan menguntungkan bagi kepentingan negaranya. Isu nuklir dan senjata pemusnah massal (WMD) ataupun terorisme telah menjadi argumentasi global untuk menekan sebuah negara atau kelompok tertentu.

Di lain pihak, negara-negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem hutang internasional seperti IMF dan Bank Dunia, masyarakat berkembang dijadikan kecanduan dengan produk teknologi maju melalui konsumerisme yang disiarkan oleh media-media massa. Belum lagi perusahaan-perusahaan internasional milik negara-negara maju yang menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan dalam skup nasional saja, banyak perusahaan-perusahaan lokal dalam sebuah negara yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan internasional yang bermodal besar dan menguasai teknologi yang mutakhir. Di bidang eksplorasi dan penambangan sumber mineral di negara-negara berkembang, terjadi monopoli oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga terkesan bahwa hasil mineral mereka dirampas oleh perusahan-perusahaan asing dan para penguasa setempat.

Di sektor sosial kebijakan negara-negara maju juga tidak kalah penting. Gagasan-gagasan yang mendukung kemajuan dan reformasi sektor sosial dikembangkan sedemikian rupa oleh LSM-LSM yang didukung oleh nagara-negara donor yang notabene dari negara mau atau Barat. Kebanyakan gagasan-gagasan yang diusung adalah untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai demokrasi seperti liberalisme, feminisme, internasionalisme, institutionalisme, global civil society, neo idelisme dan demokratisasi ke level grass root. Gagasan itu yang diterminologikan oleh Steven Lamy sebagai neo-liberalisme dan neo-idealisme.

Fenomena percaturan politik global yang selama ini berlangsung telah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan yang existensinya merasa terancam. Hegemoni demokrasi yang dianggap perpanjangan dari kapitalisme dalam sekup global telah membuat pengap kekuatan ideologis lain yang selama ini kontra demokrasi, seperti komunisme dengan sosialismenya. Kekuatan lain seperti nasionalisme juga terancam akan terlindas oleh hegemoni demokrasi global ini. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran kuat dikalangan nasionalis bahwa ancaman baru neo-kolonialisme akan segera muncul menguasai, menindas dan menjajah mereka kembali. Kalangan agamawan semakin kuatir terhadap tergesernya norma-norma yang mereka perjuangkan selama ini di masyarakat akan lambat laun pudar digantikan norma-norma sekuler yang didakwahkan secara terus-menerus oleh sistem informasi global.

Kekhawatiran-kakhawatiran tersebut telah menyebabkan kanalisasi kekuatan baru yang juga bersifat global. Kekuatan ini ingin melakukan counter balance terhadap kekuatan global yang diciptakan oleh blok Barat. Kekuatan ini juga sadar bahwa tidak mungkin mengimbangi kekuatan global yang ada saat ini kecuali dengan kekuatan global juga. Kekuatan ini juga yakin bahwa kalau mereka tidak bertindak, maka mereka akan tertindas dan terjepit oleh kekuatan globalisme Barat. Sementara itu menghadapi Barat dengan konfrontatif adalah sia-sia karena kekuatan Barat yang sedemikian kuat. Kanalisasi kekuatan baru inilah yang kemudian mengkristal menjadi kekuatan destruktif, yang oleh media massa diistilahkan dengan terorisme, radikalisme, tradisionalisme dan fundamentalisme.

Bangsa Indonesia menjadi korban atau pemeran

Dalam percaturan politik global, dimana sebenarnya posisi bangsa Indonesia? Meskipun mungkin banyak juga hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran.

Rasanya sejauh ini bangsa kita lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme.

Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku dalam politk global? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, serta --yang terpenting-sejauh mana bangsa kita ini bisa mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan masalah pemerataan kekayaan diantara rakyat kita sendiri.

Untuk turut menjadi aktor utama dalam arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, dan itu berarti dimulai dari pendidikan yang memadai untuk membentuk tenaga manusia yang berpotensi, yang pertama untuk pengembangan ekononi negara karena diantara salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Yang dari sini bila itu dapat terwujud akan memperkecil dependensi negara pada badan-badan moneter internasional, dengan begitu kebijakan otonomi nasional akan terwujud, dan apa yang disebut kesejahteraan rakyat, melalui pemerataan distribusi penghasilan, juga stabilitas nasional akan dapat terkedepankan. Dengan demikian pendidikan adalah permulaan yang penting demi menuju kemajuan suatu negara.

Disampaikan dalam Seminar HUT IMASI, tanggal 12 Maret 2005 dengan tema "Pandangan Bangsa Indonesia Menyikapi Dinamika Politik Global" di Aula Budaya Nusantara, KBRI Islamabad.