Monday 4 March 2019

Mau Saya Carikan di Google?


Let me Google that for You?

Ungkapan diatas mungkin terjemahan bebasnya: ‘saya cari di Google dulu’

Saat ini kita menyaksikan, banyak orang dengan kemampuan akses pengetahuan yang sangat mudah, luas dan sangat kompleks, (unlimited), tapi masih saja sangat resisten untuk belajar.

Bagaimanapun media sosial telah membangun lingkungan ‘budaya narsistik’ yang membawa implikasi menantang pengetahuan yang sudah mapan. Celah pemisah yang lebar antara ‘expert’ (ahli) dan common people (awam) ini semakin lebar, ketika bagaimana para ahli kebanyakan mengabaikan interaksi dan keterlibatannya dengan awam, sementara disisi lain, bagaimana masyarakat awam telah merasa bahwa mereka sudah cukup mendapatkan informasi yang mereka inginkan, seiring meningkatnya kepercayaan diri masyarakat umum, bahwa hanya dengan bekal gadget mereka telah mampu menjadi ahli dalam segala hal.

Apa kemudian internet kita jadikan kambing hitam? Tidak juga. Dengan meningkatnya konektivitas dan interaksi pada semua segmen sosial, secara tidak langsung terbangun pula keyakinan irasional bahwa setiap orang adalah ‘smart’, semua orang adalah pintar. Keyakinan ini bukan tentang meningkatnya penghargaan pada pengetahuan ‘knowledge’ yang itu menjadi tujuan utama suatu pendidikan, yaitu menjadikan manusia pembelajar sepanjang hayat. Akan tetapi, saat ini kita menghadapi masyarakat dimana pengetahuan yang sedikit dianggap menjadi endpoint (titik akhir), ketimbang dimaknai sebagai permulaan suatu proses pembelajaran.

Mungkin saatnya kita perlu membumikan Ta’limul Muta’allim.

(Catatan reflektif membaca buku The Death of Expertise, Tom Nichols)

No comments: