Revolusi Melati di Tunisia masih belum sepenuhnya hilang dari pemberitaan media, antara apa dan bagaimana akhir dari revolusi itu sendiri sampai saat ini masih belum seutuhnya lengkap terangkum dalam sejarah. Dari Tunisia, akankah akan membawa angin segar untuk memunculkan tuntutan perubahan di negara-negara Timur Tengah, -Mesir, tentu saja saat ini yang masih di guncang protes, Jordan, Yaman, Algeria dan Libya- menuju sistem pemerintahan yang lebih representatif dan aspiratif di mata rakyatnya?
Sejarah telah banyak terulang, bahwa himpitan ekonomi, kenaikan harga pangan dan tingginya pengangguran akan berpengaruh pada ketidakstabilan dalam negeri, hal itu juga yang pernah kita alami, di penghujung kekuasaan Orde Baru, di kala krisis finansial menerjang Asia Tenggara, yang pada klimaksnya menumbangkan rezim yang berkuasa lebih dari 30 tahun.
Menurut Pew Forum on Religion and Public Life, saat ini Afrika Utara dan Timur Tengah berada pada puncak tertinggi populasi angkatan kerja, dimana sekitar 60 persen populasi penduduknya berusia rata-rata di bawah 30 tahun, merupakan dua kali lipat persentase Amerika Utara, hal ini di tambah dengan tingkat pengangguran yang tinggi, antara 10 persen atau lebih, menjadikan Afrika Utara dan Timur Tengah sebagai kawasan pengangguran tertinggi di dunia, dari angka tersebut Mesir merupakan negara dengan populasi tertinggi di kawasan ini. Tidak mengherankan, jika dalam website CNN menyebutkan bahwa populasi umat Muslim di dunia pada dekade ini menjadi dua kali lipat jumlahnya, akan tetapi di akhir artikel tersebut juga di sebutkan bahwa, angka kenaikan ini tidak didukung dengan sumber daya manusia yang mumpuni.
Pada strata teori, sebuah proses transisi akan terbentuk atas perubahan mindset dan persepsi para elite politik atau rezim yang berkuasa, hal ini tentu saja sangat di pengaruhi oleh perkembangan sosial dan ekonomi atau respon dari krisis, baik itu sosial atau ekonomi. Namun pada kenyataannya, perubahan mindset atau persepsi tersebut lebih cenderung muncul setelah krisis sudah menjadi akut, sehingga rezim yang berkuasa tidak dapat lagi melakukan tawar menawar kebijakan, seperti halnya yang terjadi di Mesir kali ini. Hingga pada klimaksnya ‘Hari Kemurkaan’ yang sejak tanggal 25 Januari lalu, dan sampai hari ini masih mengguncang rezim Hosni Mubarak yang berkuasa selama kurang lebih 30 tahun, merupakan sebentuk protes atas penyakit akut yang telah lama di pendam oleh rakyat Mesir, dari mulai kemiskinan, kenaikan harga pangan, tingginya angka pengangguran dan kebijakan otoriter yang tidak jarang membungkam para oposisi pemerintah dengan tangan besi, yang akhirnya saat ini massa menuntut Husni Mubarak untuk turun dari kursi kepresidenannya.
Mempertahankan legitimasi sebuah rezim yang berkuasa hampir 30 tahun di mata rakyat tentu saja memerlukan jaminan kesejahteraan dan mampu memberikan servis terbaik untuk kenyamanan dan keamanan rakyatnya secara umum, meskipun pemerintahan tersebut tidak terpilih secara demokratis. Hanya saja rezim seperti ini akan rentan terguncang ketika dunia di landa krisis global yang berimbas pada stabilitas dalam negeri, karena tidak jarang korupsi dan kolusi sudah menjadi bagian dari penyakit setiap rezim yang telah terlalu lama berkuasa, sehingga posisi krusial yang bersangkutan dengan kesejahteraan rakyat, tidak jarang akhirnya di isi dengan para teknokrat yang hanya memenuhi kantongnya sendiri, tanpa membuat kebijakan yang mementingkan kesejahteraan rakyat, dan inilah yang telah menjadi penyakit akut dalam kasus Mesir, dan mungkin negara-negara Timur Tengah lainnya yang saat ini menunggu genderang tuntutan perubahan.
Dari Tunisa menuju Revolusi Regional
Saat ini hampir lima negara sepanjang kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah di landa demonstrasi besar-besaran anti-pemerintahan. Mungkin terlalu prematur jika memprediksikan bahwa Revolusi Melati ala Tunisia akan membawa perubahan pada skala regional ke negara-negara Arab lainnya. Sekitar setahun yang lalu dalam sebuah laporan dari United States Institute of Peace telah memberikan peringatan bahwa melebarnya kesenjangan sosial dan ideologi antara rezim dan masyarakat kelak akan menjadikan rezim Arab rentan terhadap krisis sistemik dan guncangan ekonomi, yang pada puncaknya akan mengguncang stabilitas politik. Dan apa yang sudah terjadi baik di Tunisia maupun Mesir saat ini adalah sebuah bukti kongkrit yang perlu di renungkan, terutama bagi negara yang menanam kepentingan tinggi di kawasan tersebut.
Telah beberapa tahun Amerika Serikat memilih dua kebijakan utama di kawasan ini, antara lain dengan mendanai dan mempertahankan rezim otoriter, sementara di sisi lain juga memberikan dukungan pada kelompok oposisi politik, serta mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa, sementara disisi lain AS sendiri menjadikannya partner penting sebagai pilar penjaga gawang kepentingannya di kawasan ini. Mengingat secara geo-strategis Mesir berbatasan langsung dengan Palestina, di harapkan dapat menjembatani perundingan perdamaikan antara Palestina dan Israel juga yang lebih penting lagi sebagai benteng penangkal merebaknya fundamentalisme yang di sponsori oleh Iran, di samping kepentingan krusial lainnya.
Keengganan AS sendiri dalam memberikan dukungan secara terang-terangan pada aksi massa ini juga menunjukkan bahwa AS sendiri berusaha untuk menyelamatkan muka di mata rakyat Mesir, dan tentu saja, jika nantinya pemerintahan Husni Mubarak dapat digulingkan dalam aksi ini, akan ke arah mana tongkat estafet pemerintahan Mesir akan berpindah? apakah pada kelompok sayap liberal –El Baradai- atau kelompok sayap kanan –Ikhwanul Muslimin, yang mana jika sampai pada kemungkinan terakhir, tentu saja akan memberikan dampak suram pada masa depan perdamaikan Israel-Palestina.
Dalam skala regional, arus tuntutan perubahan yang menggelinding dari arah Tunisia menuju semenanjung Arab semakin membuat gerah para petinggi-petinggi negara kawasan ini, di mana kata demokrasi seperti sebuah kata asing yang masih belum di kenal secara luas. Mungkinkah akan membawa perubahan kepada sebuah tatanan kenegaraan yang lebih aspiratif dan akomodatif pada kepentingan rakyat atau sebaliknya tetap menggagalkan aspirasi rakyat dengan tangan besi.
Peristiwa ini, semestinya membukakan mata para pemegang pemerintahan negara kita, meskipun kita sudah lebih berpengalaman dalam berdemokrasi di bandingkan dengan negara Timur Tengah, tapi tidak menutup kemungkinan apa yang pada tahun 1998 Reformasi akan dapat terulang kembali, misi utama pemberantasan korupsi semestinya membentuk kembali mindset dan persepsi baru para elit politik untuk mendapatkan kembali legitimasi di mata masyarakat secara umum, sebelum rakyat sudah mulai bosan dengan janji yang tidak berkesudahan.
Oleh: Kamilia Hamidah MA
Mahasiswi program paska sarjana Politik dan Hubungan Internasional dan peneliti hubungan internasional di International Islamic University Islamabad, Pakistan
No comments:
Post a Comment