Ketika mendengar ungkapan "politik global" yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh di dunia global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antar kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, seperti yang kita saksikan dalam pertempuran-pertempuran di Afghanistan dan Iraq. Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.
Seperti kata Marly Cardor (2001), pada masa perang dingin yang terjadi adalah perang antar negara-negara besar di dunia global. Negara, masih kata Marli, mempunyai wilayah territorial geografis yang mudah dikenali, sehingga perang yang terjadi sifatnya terbatas. Masa paska perang dingin yang ditandai dengan disintegrasinya Uni Soviet, lahir pola tatanan sistem internasional dengan munculnya sistem bipolar dengan lahirnya Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa, kini dunia mengenal corak dalam percaturan internasional yang dikenal dengan politik global. Isu politik global adalah bukan suatu yang baru dalam percaturan politik internasional karena pada dasarnya bibit politik global telah muncul sejak didirikannya league of nation dengan pionernya Woodrow Wilson, dengan konsep-konsep open government, self-determination dan juga konsep collective security yang kemudiaan dikembangan menjadi sebuah paradigma baru yang dikenal dengan paradigma idealisme, kemudian muncul paradigma yang intinya pengembangan dari idealisme seperti halnya liberalisme dan internasionalisme yang mengangkat isu-isu global.
Tragedi 11 September 2001 ditandai dengan difokuskannya isu global kepada agenda perang melawan terorisma "War against Terorism", perang baru yang terjadi adalah antar kekuatan-kekuatan besar dunia dan bukan lagi antar negara tertentu. Perang itu ternyata lebih kompleks karena yang terjadi tidak hanya pertempuran-pertempuran antar kekuatan bersenjata yang menelan banyak korban sipil, tapi juga perebutan otoritas, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasoinal serta perang peradaban dan kultur di dunia global yang tak lagi terbatasi oleh wilayah territorial. Maka sering dikatakan bahwa berakhirnya perang dingin adalah mulainya era globalisasi dalam arti sesungguhnya.
Peta Kekuatan Politik Global
Globalisasi telah menciptakan berbagai masalah dan kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate. Terkadang justru kepentingan sebuah negara sendiri tidak akan bisa terpenuhi kecuali dengan mengkondisikan external sebagai support kepentingan domestik. Maka politik global tidak lain adalah pergulatan global dalam mewujudkan kepentingan para aktor yang menjalankannya.
Siapa yang berperan dalam permainan politik global ini? Peta atau format politik dunia berikut aktor globalnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, negara-negara yang dipetakan secara dikotomis, yaitu negara-negara negara-negara besar dan negara-negara kecil, negara-negara maju dan negara-negara berkembang, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara militer, negara-negara yang berdiri sendiri atau yang bergabung dengan negara lain, dan lain sebagainya.
Kedua, organisasi-organisasi antar-pemerintah (IGO atau Inter-Governmental Organizations), seperti ASEAN, SAARC, NATO, European Community dan lain sebagainya.
Ketiga, perusahaan internasional yang dikenal dengan Multinational Corporations (MNC) atau Tansnational Corporations atau Global Firms. Perusahaan-perusahaan ini dengan modalnya yang besar dan bersifat deteritorialis meluaskan jaringannya ke segala penjuru dunia. Pemerintah khususnya negara-negara berkembang merasa perlu mendapatkan modal dan teknologinya. Fenomena pengaruh George Soros terhadap kebijakan politik global merupakan contoh dari peran perusahaan internasional dalam percaturan politik global.
Keempat, organisasi internasional atau trans-nasional yang non pemerintah (INGO, International Non-Governmental Organizations) seperti Palang Merah Internasional didirikan tahun 1867, Workingmen's Association (Socialist International) tahun 1860an, International Women's League for Peace and Freedom. Yang konvensional seperti: Vatikan, Dewan Gereja-gereja Sedunia, Rabiyatul Islamiyah. Yang moderen seperti Amnesty International, Green-peace International, World Conference on Religion and Peace, World Federation of United Nations Associations, Trans-parency International, Worldwatch, Human Rights Watch dan Refugee International. Organisasi global ini lebih tepat disebut aktivis profesional. Pendapat umum dan kebijakan dunia ternyata banyak sekali dipengaruhi oleh organisasi aktivis ini. Gagasan-gagasan mereka banyak disalurkan melalui media massa elit dunia, seperti International Herald Tribune, The Guardian, Time dan The Economist.
Kelima, organisasi-organisasi non-formal, rahasia, dan setengah rahasia. Umpamanya: mafia, teroris, pembajak, penyelundup, preman global, tentara bayaran, hacker komputer dan mungkin juga organisasi semacam Al-Qaeda.
Peta Kepentingan dalam politik global
Dalam percaturan politik global pengaruh negara-negara maju sangat kuat. Ini kerena mereka mempunyai kepentingan dalam dunia global yang sangat besar, baik itu ideologis seperti kepentingan dunia Barat untuk mengekspor demokrasi seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa liberal demokrasi akan menjadi kulminasi percaturan ideologi dunia, ekonomis seperti kepentingan untuk mendapatkan sumber mineral dan bahkan pasar untuk menjual produk dan bahan baku. Kepentingan keamanan untuk menciptakan tatanan global yang melindungi keamanannya dengan melakukan pengawasan senjata juga merupakan salah satu kepentingan Barat yang amat vital. Sebagaimana mengutip thesis clash of civilization-nya Samuel Huntington bahwa konflik yang akan datang pada akhirnya akan menjadi konflik antara the west vs the rest, yang ini menunjukkan kepentingan kultur new nation yang kerapkali dibanggakan oleh America Serikat sebagai kebanggaan budaya (cultural dignity) masyarakat Barat yang menjadi simbol peradaban dunia juga menjadi salah satu kepentingan yang mereka perjuangkan. Infrastruktur yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi dan modal yang besar semakin memperbesar peran mereka dalam percaturan politik global.
Hegemoni Barat dalam percaturan politik global yang sedemikian kuat ini, sehingga menjadikan mereka sebagai aktor utamanya telah menimbulkan persepsi kuat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah munculnya kolonialisme dan imperialsme baru. Seperti halnya kebijakan-kebijakan luar negeri AS, khususnya paska 11/9 sangat jelas terlihat bahwa ia ingin menjadikan sistem dunia yang mendukung dan menguntungkan bagi kepentingan negaranya. Isu nuklir dan senjata pemusnah massal (WMD) ataupun terorisme telah menjadi argumentasi global untuk menekan sebuah negara atau kelompok tertentu.
Di lain pihak, negara-negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem hutang internasional seperti IMF dan Bank Dunia, masyarakat berkembang dijadikan kecanduan dengan produk teknologi maju melalui konsumerisme yang disiarkan oleh media-media massa. Belum lagi perusahaan-perusahaan internasional milik negara-negara maju yang menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan dalam skup nasional saja, banyak perusahaan-perusahaan lokal dalam sebuah negara yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan internasional yang bermodal besar dan menguasai teknologi yang mutakhir. Di bidang eksplorasi dan penambangan sumber mineral di negara-negara berkembang, terjadi monopoli oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga terkesan bahwa hasil mineral mereka dirampas oleh perusahan-perusahaan asing dan para penguasa setempat.
Di sektor sosial kebijakan negara-negara maju juga tidak kalah penting. Gagasan-gagasan yang mendukung kemajuan dan reformasi sektor sosial dikembangkan sedemikian rupa oleh LSM-LSM yang didukung oleh nagara-negara donor yang notabene dari negara mau atau Barat. Kebanyakan gagasan-gagasan yang diusung adalah untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai demokrasi seperti liberalisme, feminisme, internasionalisme, institutionalisme, global civil society, neo idelisme dan demokratisasi ke level grass root. Gagasan itu yang diterminologikan oleh Steven Lamy sebagai neo-liberalisme dan neo-idealisme.
Fenomena percaturan politik global yang selama ini berlangsung telah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan yang existensinya merasa terancam. Hegemoni demokrasi yang dianggap perpanjangan dari kapitalisme dalam sekup global telah membuat pengap kekuatan ideologis lain yang selama ini kontra demokrasi, seperti komunisme dengan sosialismenya. Kekuatan lain seperti nasionalisme juga terancam akan terlindas oleh hegemoni demokrasi global ini. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran kuat dikalangan nasionalis bahwa ancaman baru neo-kolonialisme akan segera muncul menguasai, menindas dan menjajah mereka kembali. Kalangan agamawan semakin kuatir terhadap tergesernya norma-norma yang mereka perjuangkan selama ini di masyarakat akan lambat laun pudar digantikan norma-norma sekuler yang didakwahkan secara terus-menerus oleh sistem informasi global.
Kekhawatiran-kakhawatiran tersebut telah menyebabkan kanalisasi kekuatan baru yang juga bersifat global. Kekuatan ini ingin melakukan counter balance terhadap kekuatan global yang diciptakan oleh blok Barat. Kekuatan ini juga sadar bahwa tidak mungkin mengimbangi kekuatan global yang ada saat ini kecuali dengan kekuatan global juga. Kekuatan ini juga yakin bahwa kalau mereka tidak bertindak, maka mereka akan tertindas dan terjepit oleh kekuatan globalisme Barat. Sementara itu menghadapi Barat dengan konfrontatif adalah sia-sia karena kekuatan Barat yang sedemikian kuat. Kanalisasi kekuatan baru inilah yang kemudian mengkristal menjadi kekuatan destruktif, yang oleh media massa diistilahkan dengan terorisme, radikalisme, tradisionalisme dan fundamentalisme.
Bangsa Indonesia menjadi korban atau pemeran
Dalam percaturan politik global, dimana sebenarnya posisi bangsa Indonesia? Meskipun mungkin banyak juga hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran.
Rasanya sejauh ini bangsa kita lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme.
Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku dalam politk global? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, serta --yang terpenting-sejauh mana bangsa kita ini bisa mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan masalah pemerataan kekayaan diantara rakyat kita sendiri.
Untuk turut menjadi aktor utama dalam arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, dan itu berarti dimulai dari pendidikan yang memadai untuk membentuk tenaga manusia yang berpotensi, yang pertama untuk pengembangan ekononi negara karena diantara salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Yang dari sini bila itu dapat terwujud akan memperkecil dependensi negara pada badan-badan moneter internasional, dengan begitu kebijakan otonomi nasional akan terwujud, dan apa yang disebut kesejahteraan rakyat, melalui pemerataan distribusi penghasilan, juga stabilitas nasional akan dapat terkedepankan. Dengan demikian pendidikan adalah permulaan yang penting demi menuju kemajuan suatu negara.
Disampaikan dalam Seminar HUT IMASI, tanggal 12 Maret 2005 dengan tema "Pandangan Bangsa Indonesia Menyikapi Dinamika Politik Global" di Aula Budaya Nusantara, KBRI Islamabad.
Seperti kata Marly Cardor (2001), pada masa perang dingin yang terjadi adalah perang antar negara-negara besar di dunia global. Negara, masih kata Marli, mempunyai wilayah territorial geografis yang mudah dikenali, sehingga perang yang terjadi sifatnya terbatas. Masa paska perang dingin yang ditandai dengan disintegrasinya Uni Soviet, lahir pola tatanan sistem internasional dengan munculnya sistem bipolar dengan lahirnya Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa, kini dunia mengenal corak dalam percaturan internasional yang dikenal dengan politik global. Isu politik global adalah bukan suatu yang baru dalam percaturan politik internasional karena pada dasarnya bibit politik global telah muncul sejak didirikannya league of nation dengan pionernya Woodrow Wilson, dengan konsep-konsep open government, self-determination dan juga konsep collective security yang kemudiaan dikembangan menjadi sebuah paradigma baru yang dikenal dengan paradigma idealisme, kemudian muncul paradigma yang intinya pengembangan dari idealisme seperti halnya liberalisme dan internasionalisme yang mengangkat isu-isu global.
Tragedi 11 September 2001 ditandai dengan difokuskannya isu global kepada agenda perang melawan terorisma "War against Terorism", perang baru yang terjadi adalah antar kekuatan-kekuatan besar dunia dan bukan lagi antar negara tertentu. Perang itu ternyata lebih kompleks karena yang terjadi tidak hanya pertempuran-pertempuran antar kekuatan bersenjata yang menelan banyak korban sipil, tapi juga perebutan otoritas, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasoinal serta perang peradaban dan kultur di dunia global yang tak lagi terbatasi oleh wilayah territorial. Maka sering dikatakan bahwa berakhirnya perang dingin adalah mulainya era globalisasi dalam arti sesungguhnya.
Peta Kekuatan Politik Global
Globalisasi telah menciptakan berbagai masalah dan kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate. Terkadang justru kepentingan sebuah negara sendiri tidak akan bisa terpenuhi kecuali dengan mengkondisikan external sebagai support kepentingan domestik. Maka politik global tidak lain adalah pergulatan global dalam mewujudkan kepentingan para aktor yang menjalankannya.
Siapa yang berperan dalam permainan politik global ini? Peta atau format politik dunia berikut aktor globalnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, negara-negara yang dipetakan secara dikotomis, yaitu negara-negara negara-negara besar dan negara-negara kecil, negara-negara maju dan negara-negara berkembang, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara militer, negara-negara yang berdiri sendiri atau yang bergabung dengan negara lain, dan lain sebagainya.
Kedua, organisasi-organisasi antar-pemerintah (IGO atau Inter-Governmental Organizations), seperti ASEAN, SAARC, NATO, European Community dan lain sebagainya.
Ketiga, perusahaan internasional yang dikenal dengan Multinational Corporations (MNC) atau Tansnational Corporations atau Global Firms. Perusahaan-perusahaan ini dengan modalnya yang besar dan bersifat deteritorialis meluaskan jaringannya ke segala penjuru dunia. Pemerintah khususnya negara-negara berkembang merasa perlu mendapatkan modal dan teknologinya. Fenomena pengaruh George Soros terhadap kebijakan politik global merupakan contoh dari peran perusahaan internasional dalam percaturan politik global.
Keempat, organisasi internasional atau trans-nasional yang non pemerintah (INGO, International Non-Governmental Organizations) seperti Palang Merah Internasional didirikan tahun 1867, Workingmen's Association (Socialist International) tahun 1860an, International Women's League for Peace and Freedom. Yang konvensional seperti: Vatikan, Dewan Gereja-gereja Sedunia, Rabiyatul Islamiyah. Yang moderen seperti Amnesty International, Green-peace International, World Conference on Religion and Peace, World Federation of United Nations Associations, Trans-parency International, Worldwatch, Human Rights Watch dan Refugee International. Organisasi global ini lebih tepat disebut aktivis profesional. Pendapat umum dan kebijakan dunia ternyata banyak sekali dipengaruhi oleh organisasi aktivis ini. Gagasan-gagasan mereka banyak disalurkan melalui media massa elit dunia, seperti International Herald Tribune, The Guardian, Time dan The Economist.
Kelima, organisasi-organisasi non-formal, rahasia, dan setengah rahasia. Umpamanya: mafia, teroris, pembajak, penyelundup, preman global, tentara bayaran, hacker komputer dan mungkin juga organisasi semacam Al-Qaeda.
Peta Kepentingan dalam politik global
Dalam percaturan politik global pengaruh negara-negara maju sangat kuat. Ini kerena mereka mempunyai kepentingan dalam dunia global yang sangat besar, baik itu ideologis seperti kepentingan dunia Barat untuk mengekspor demokrasi seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa liberal demokrasi akan menjadi kulminasi percaturan ideologi dunia, ekonomis seperti kepentingan untuk mendapatkan sumber mineral dan bahkan pasar untuk menjual produk dan bahan baku. Kepentingan keamanan untuk menciptakan tatanan global yang melindungi keamanannya dengan melakukan pengawasan senjata juga merupakan salah satu kepentingan Barat yang amat vital. Sebagaimana mengutip thesis clash of civilization-nya Samuel Huntington bahwa konflik yang akan datang pada akhirnya akan menjadi konflik antara the west vs the rest, yang ini menunjukkan kepentingan kultur new nation yang kerapkali dibanggakan oleh America Serikat sebagai kebanggaan budaya (cultural dignity) masyarakat Barat yang menjadi simbol peradaban dunia juga menjadi salah satu kepentingan yang mereka perjuangkan. Infrastruktur yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi dan modal yang besar semakin memperbesar peran mereka dalam percaturan politik global.
Hegemoni Barat dalam percaturan politik global yang sedemikian kuat ini, sehingga menjadikan mereka sebagai aktor utamanya telah menimbulkan persepsi kuat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah munculnya kolonialisme dan imperialsme baru. Seperti halnya kebijakan-kebijakan luar negeri AS, khususnya paska 11/9 sangat jelas terlihat bahwa ia ingin menjadikan sistem dunia yang mendukung dan menguntungkan bagi kepentingan negaranya. Isu nuklir dan senjata pemusnah massal (WMD) ataupun terorisme telah menjadi argumentasi global untuk menekan sebuah negara atau kelompok tertentu.
Di lain pihak, negara-negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem hutang internasional seperti IMF dan Bank Dunia, masyarakat berkembang dijadikan kecanduan dengan produk teknologi maju melalui konsumerisme yang disiarkan oleh media-media massa. Belum lagi perusahaan-perusahaan internasional milik negara-negara maju yang menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan dalam skup nasional saja, banyak perusahaan-perusahaan lokal dalam sebuah negara yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan internasional yang bermodal besar dan menguasai teknologi yang mutakhir. Di bidang eksplorasi dan penambangan sumber mineral di negara-negara berkembang, terjadi monopoli oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga terkesan bahwa hasil mineral mereka dirampas oleh perusahan-perusahaan asing dan para penguasa setempat.
Di sektor sosial kebijakan negara-negara maju juga tidak kalah penting. Gagasan-gagasan yang mendukung kemajuan dan reformasi sektor sosial dikembangkan sedemikian rupa oleh LSM-LSM yang didukung oleh nagara-negara donor yang notabene dari negara mau atau Barat. Kebanyakan gagasan-gagasan yang diusung adalah untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai demokrasi seperti liberalisme, feminisme, internasionalisme, institutionalisme, global civil society, neo idelisme dan demokratisasi ke level grass root. Gagasan itu yang diterminologikan oleh Steven Lamy sebagai neo-liberalisme dan neo-idealisme.
Fenomena percaturan politik global yang selama ini berlangsung telah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan yang existensinya merasa terancam. Hegemoni demokrasi yang dianggap perpanjangan dari kapitalisme dalam sekup global telah membuat pengap kekuatan ideologis lain yang selama ini kontra demokrasi, seperti komunisme dengan sosialismenya. Kekuatan lain seperti nasionalisme juga terancam akan terlindas oleh hegemoni demokrasi global ini. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran kuat dikalangan nasionalis bahwa ancaman baru neo-kolonialisme akan segera muncul menguasai, menindas dan menjajah mereka kembali. Kalangan agamawan semakin kuatir terhadap tergesernya norma-norma yang mereka perjuangkan selama ini di masyarakat akan lambat laun pudar digantikan norma-norma sekuler yang didakwahkan secara terus-menerus oleh sistem informasi global.
Kekhawatiran-kakhawatiran tersebut telah menyebabkan kanalisasi kekuatan baru yang juga bersifat global. Kekuatan ini ingin melakukan counter balance terhadap kekuatan global yang diciptakan oleh blok Barat. Kekuatan ini juga sadar bahwa tidak mungkin mengimbangi kekuatan global yang ada saat ini kecuali dengan kekuatan global juga. Kekuatan ini juga yakin bahwa kalau mereka tidak bertindak, maka mereka akan tertindas dan terjepit oleh kekuatan globalisme Barat. Sementara itu menghadapi Barat dengan konfrontatif adalah sia-sia karena kekuatan Barat yang sedemikian kuat. Kanalisasi kekuatan baru inilah yang kemudian mengkristal menjadi kekuatan destruktif, yang oleh media massa diistilahkan dengan terorisme, radikalisme, tradisionalisme dan fundamentalisme.
Bangsa Indonesia menjadi korban atau pemeran
Dalam percaturan politik global, dimana sebenarnya posisi bangsa Indonesia? Meskipun mungkin banyak juga hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran.
Rasanya sejauh ini bangsa kita lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme.
Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku dalam politk global? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, serta --yang terpenting-sejauh mana bangsa kita ini bisa mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan masalah pemerataan kekayaan diantara rakyat kita sendiri.
Untuk turut menjadi aktor utama dalam arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, dan itu berarti dimulai dari pendidikan yang memadai untuk membentuk tenaga manusia yang berpotensi, yang pertama untuk pengembangan ekononi negara karena diantara salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Yang dari sini bila itu dapat terwujud akan memperkecil dependensi negara pada badan-badan moneter internasional, dengan begitu kebijakan otonomi nasional akan terwujud, dan apa yang disebut kesejahteraan rakyat, melalui pemerataan distribusi penghasilan, juga stabilitas nasional akan dapat terkedepankan. Dengan demikian pendidikan adalah permulaan yang penting demi menuju kemajuan suatu negara.
Disampaikan dalam Seminar HUT IMASI, tanggal 12 Maret 2005 dengan tema "Pandangan Bangsa Indonesia Menyikapi Dinamika Politik Global" di Aula Budaya Nusantara, KBRI Islamabad.
1 comment:
hd seks videolar sex izle canlı yayında soyunma.
Post a Comment