Tuesday, 5 October 2010

Samarkand, Sebuah Catatan Perjalanan

You can travel through the whole world, have a look at the pyramids and admire the smile of the Sphinx; You can listen to the soft singing of the wind at the Adriatic Sea and kneel down reverently at the ruins of the Acropolis, be dazzled by Rome with its Forum and Coliseum, be charmed by Notre Dame in Paris or by old domes of Milan; But if you have seen buildings of Samarkand, you will be enchanted by its magic forever.

Anda mungkin dapat melakukan perjalanan ke seluruh dunia, mengunjungi piramida dan mengagumi senyuman Sphinx; Anda dapat mendengarkan nyanyian lembut angin di Laut Adriatik dan berlutut dengan penuh hormat di reruntuhan Acropolis atau terpesona oleh Roma dengan Forum dan Coliseum-nya, atau anda akan terpesona oleh Notre Dame di Paris atau dengan kubah lama Milan; Tetapi, jika Anda telah melihat bangunan Samarkand, Anda akan terpesona oleh sihir selamanya.

Begitu kira-kira terjemahan sebuah bait puisi tentang Samarkand yang pernah saya baca. Bagi saya Samarkand serasa sangat lekat di benak saya, dari sebuah novel karya Amin Malouf yang diberikan pada kawan dekat saya sebagai kenang-kenangan sebelum dia meninggalkan Islamabad, saya sempatkan baca novel tersebut. Sebuah novel yang menyajikan pengembaraan dalam perncarian Rubayyat Umar Khayam, dan pengemasan seorang Amin Malouf yang pernah mendapatkan penghargaan the Goncourt Prize dalam novelnya the Rock Of Tanios, menjadikan kisah tersebut menjadi hidup seakan membawa saya kembali pada zaman jauh dimana Samarkand pada masanya menjadi pusat peradaban dan keilmuan. Mungkin jika saya boleh mengatakannya novel tersebut merupakan novel yang mengangkat peradaban, layaknya Tolstoy dengan War and Peace nya. Dalam hati saya, mungkinkan peninggalan sejarah tersebut masih ada tersisa disana?

Tenyata peninggalan sejarah Samarkand masih terawat dengan baik, dan Jumat pagi jam 7 tepat, kereta kami beranjak dari Taskent menuju Samarkand, perjalanan selama tiga jam penuh tanpa henti melintasi hamparan ladang kapas yang tidak berbatas sampai ujung pandangan mata kami, kadang melintasi padang rumput sabana yang mulai mengering seiring bergantinya musim, yang saat ini sudah mulai memasuki musim gugur.

Tepat setelah 3 jam perjalanan kereta api kami sampai di stasiun KA Samarkand, seorang bapak-bapak dengan wajah lokal dengan membawa kertas bertuliskan ‘Adi’ sudah menjemput kami ber-6 termasuk anak-anak dengan mobil van-nya yang katanya dia import dengan container dari Korea via darat. Karena check in hotel masih terlalu pagi, disamping kamarnya juga masih dibersihkan, akhirnya perjalanan kami pertama menuju Makam Imam Bukhari sekaligus para bapak-bapak sholat jum’at disana. Dan disinilah kami, di makam muhadist besar yang meriwayatkan hadist-hadist sahih, sehingga hadist-hadist yang diriwayatkan beliau menjadi landasan pengambilan hukum dalam syariat Islam. Kami berdiri di samping makam beliau, tertunduk untuk turut mengamini sang imam masjid yang memimpin rombongan peziarah baik asing maupun local yang bersama-sama berdoa di samping makam Imam Bukhari. Tampak, seorang peziarah duduk sendirian terpekur khusu’ dalam doanya di hadapan makam beliau. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.

Kota Samarkand merupakan kota kedua terbesar setelah kota Taskent ibukotanya, berbeda dengan Taskent, penduduk Samarkand lebih didominasi dengan etnik lokal Uzbek yang tipikal bermata sipit, sementara di Taskent, saya perhatikan banyak pendatang (barangkali termasuk saya), di samping keturunan Rusia juga banyak mendominasi. Samarkand, dulunya merupakan pusat ibukota pemerintahan Amir Timur atau dikenal dengan Timurlane, akademi Ibn Sina, laboratorium Quadrant hasil observasi Mirzo Ulugbek yang menjadi dasar ilmu astronomi adalah di kembangkan di kota ini, bahkan trigonometri dalam konsep matematika juga dikembangkan disini. Buku astronomi-nya Mirzo Ulugbek baru di terjemahkan ke berbagai bahasa di abad ke-20.

Bangunan-bangunan peninggalam abad ke 17-an itu seakan-akan tetap hidup meski dalam masa yang berbeda. Registan Square adalah sebentuk bukti puncak keilmuan dari berbagai ilmu, Registon didirikan oleh Mirzo Ulugbek bersama-sama para astronomer lainnya pada masa itu, komplek ini semakin besar dan semakin luas sehingga komplek pusat keilmuan ini menyamai bangunan yang didirikan oleh Amir Timur, hingga sebagian dari komplek ini diperintahkan untuk di robohkan lalu akhirnya didirikan kembali. Saat ini halaman depan Registon Square di jadikan open theatre yang berfungsi sebagai tempat pertunjukan kesenian, sementara komplek Registan di jadikan sebagai pusat Heritage Village, tanpa meninggalkan kesan keaslian dari bangunan komplek tersebut. Sarana transportasi di komplek ini menggunakan golf-cart yang akan mengantar kita sampai di ujung komplek, tepatnya di depan pasar tradisional Ragistan, seperti halnya pasar lainnya yang ada disini, pasar yang tampak rapi dan selalu terjaga kebersihannya, sehingga masing-masing pedagang merasa bertanggungjawab pada sampahnya masing-masing.

Makam Nabi Daniel adalah salah satu tempat yang juga kami kunjungi, makam ini mungkin panjangnya kisaran 10-an meter, ada kepercayaan bahwa dimanapun Nabi Daniel di kuburkan, makan daerah tempat beliau dikuburkan akan makmur, demikian sehingga makam ini oleh Amir Timur di pindah ke Samarkand dari Damaskus. Nabi Daniel merupakan nabi yang dipercayai baik itu oleh agama Jahudi, Kristen dan Islam, meskipun dalam Alqur’an tidak disebutkan, tetapi ada banyak riwayat hadist yang menyebutkan. Sehingga tidak mengherankan para peziarah kebanyakan juga mendoakan beliau.

Shahi Zinda adalah komplek pemakaman para pembesar-pembesar pada masa itu, komplek ini merupakan tempat dimana Qussan Ibn Abbas di makamkan, beliau adalah sepupu Nabi Muhammad, dan merupakan generasi shahabat pertama yang membawa ajaran Islam ke kawasan Asia Tengah. Keberadaan makam beliau ini membuat pada pembesar negara, ilmuan atau ulama ingin dimakamkan di dekat beliau, sehingga tidak mengherankan jika komplek Shahi Zinda ini makin luas dan dibangun dengan sedemikian rupa. Disini juga di dapati ada beberapa madrasah (dahulu madarasah bisa di sebut sebagai universitas atau institut) malihat ada beberapa hujra (ruangan-ruangan) tempat belajar.

Makam Emir Timur (Timurlane) is the great among all, agak lama setelah berdoa dengan peziarah lainya, saya terduduk memandangi satu persatu oranamen yang mengelilingi kubah diatas maka Amir Timur dan keluarga dekatnya. Ornammen ukiran kaligrafi yang di lukis dengan warna keemasan, lapisan dinding yang dilapisi berbagai macam lapisan batu, diantaranya lapis lazuri, saya membayangkan berapa lama sang arsitek bisa menyelesaikan pahatan kaligrafi ini, plus ukiran-ukiran ornament yang memutar sampai di puncak kubah, what a great construction..And perfect. Di makam ini Makam Amir Timur berada di tengah dan justru makam guru spiritualnya di tempatkan menyendiri di deretan pertama sebelum makam Amir Timur yang berada diapit oleh dua makam keluarganya. Ini menunjukkan betapa Amir Timur sangat menghormati guru spiritualnya.

Dan akhirnya di hari kedua kami kembali ke Taskent via kereta api, mestinya saya tulis catatan ini dalam perjalanan pulang ke Taskent, tapi dasar emak-emak, lebih disibukkan dengan urusan logistik ketimbang bisa duduk terpekur untuk sekedar membuat sebuah catatan perjalanan. Anyway…Samarkand yang di kisahkan seorang Amin Malouf itu kini hidup dalam benak saya, bahwa the Great Samarkand ever exist centuries ago and still alive and remind us the great civilization on humankind.


1 comment:

Anonymous said...

Looks like you are an expert in this field, you really got some great points there, thanks.

- Robson