Tuesday 19 January 2010

Rekonstruksi Fikih Perempuan

Mengangkat masalah perempuan acapkali akan kembali pada polemik tentang isu kesetaraan, emansipasi, reproduksi dan sebagainya, polemik yang tidak akan ada habisnya jika dikaji dan dibahas satu persatu. Pergerakan pembebasan perempuan yang pada ini tentu saja sebagai konsekuensi dari isu globalisasi dan mau tidak mau telah sampai dihadapan kita sebagai proses menuju era liberalisasi, dari sini pergerakan perempuan pun punya andil tersendiri sehingga memunculkan pergerakan-pergerakan perempuan yang identik dengan slogannya masing-masing, dan bermuara pada pembelaan pada hak asasi perempuan.

Dengan proses globalisasi, segala arus informasi yang jauh dari mata kita, sekejap telah berpindah kehadapan kita, sehingga mau tidak mau kita harus turut andil agar turut berperan serta menjadi aktor dalam era globalisasi, ditengah-tengah boomingnya arus globalisasi, mengambil isu perempuan dan kiprahnya dalam globalisasi kerapkali menjadi polemik yang identik dengan rantai aksi dan reaksi, dengan globalisasi perempuan dituntut untuk dapat terus melaju dengan perputaran roda perubahan jaman, meninggalkan pertanyaan yang harus terjawab dan sulit; adalah bagaimana mensinergikan sumber daya perempuan tanpa harus terpuruk pada posisi yang tertindas, termarginalkan dan tereksploitasi, diantara kungkungan norma agama yang kerapkali menjadi dilema bagi perempuan untuk dapat turut berperan serta dalam kancah era global.

Fase utama dalam suatu proses pemberdayaan perempuan yaitu dengan rekonstruksi terhadap teks-teks agama, yang kerapkali menjadi momok tersendiri bagi kaum perempuan. Dari proses pemahaman teks tersebut, kita harus dapat membedakan antara teks-teks mana yang muncul karena tuntutan proses sejarah. Dan ini memerlukan kesadaran bagi kaum perempuan itu sendiri untuk dapat menelaah dan menkaji ulang apa-apa yang ada dalam teks Al-Qur'an, yang mana kerapkali akan muncul bahwa antara realitas yang dihadapi kaum perempuan sangat bertolak belakang dengan apa yang disyari'atkan dalam al-Qur'an dan hal itu menjadi hambatan tersendiri bagi kaum perempuan untuk dapat terus memperjuangkan hak-hak keperempuanannya tanpa harus ada perseteruan dengan nash-nash yang ada. Beranjak dari sini muncul pertanyaan, bagaimana kita dapat mengetahui ajaran yang sebenarnya tentang Islam? Jawabannya tentu akan merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akan tetapi untuk memahami dua landasan tersebut pun kita dituntut untuk dapat memahami situasi sejarah yang ada pada saat itu.

Dalam pemahaman syariat ( alqur`an dan sunnah ) diperlukan kajian yang kritis yang muncul akibat didominasi oleh temporal sosiologis-historis, di lain pihak kajian perempuan dapat diduga akibat dari usaha untuk mempertahankan status quo yang mendominasi penguasa pada waktu tertentu untuk mempertahankan hegemoninya.

Situasi dilematis menuntut perempuan untuk dapat menela`ah kembali sejarah secara nyata, dalam konteks kekinian sekaligus mengkaji ulang elemen-elemen sejarah yang selayaknya dapat diambil hikmahnya, sehingga proses pemahaman kembali sejarah bukan berarti mengusung sejarah dan menerapkannya pada saat ini, akan tetapi menerapkan dalam konteks kekinian apa yang menjadi tujuan dari sejarah tersebut dengan memilah apa yang perlu diambil manfaatnya.

Dalam buku yang ditulis oleh Zynab al-Ma'adi, menyuguhkan sebuah tawaran bagi perempuan dalam menelaah kembali pemahaman syari'at, yang berkesimpulan bahwa seluruh ajaran islam yang berkenaan dengan perempuan, baik dalam al-Qur'an dan Sunnah secara umum adalah sebagai proses gradual pembebasan perempuan menuju kesetaraan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dari kungkungan adat dan norma-norma sosial yang pada saat ini, dalam konteks jahiliyah. Proses pembebasan ini disebutkan dalam beberapa isu dalam al-Qur'an, antara lain: 1) Wa'dul banat-Penguburan hidup-hidup bayi perempuan, yang menjadi tradisi kaum jahiliyah pada masa itu dan dalam al-Qur'an dikutuk dalam surat at-Takwir/81:8-9, juga dalam surat an-Nahl/16:58-59. 2) Masalah al-A-l, yaitu adat menghalangi atau melarang wanita dari nikah setelah talak, sengaja untuk mempersulit hidupnya. Larangan ini ada dalam surat al-Baqarah/2:232 3) Masalah Al-Qisamah, suatu kebiasaan buruk yang cukup aneh dikalangan orang Arab Jahiliyah, berupa larangan kepada wanita dalam keadaan tertentu untuk meminum susu binatang seperti kambing, onta, dan lain-lain, sementara kaum pria diperbolehkan. Penyebutan disertai pengutukan tentang kebiasaan ini ada dalam al-Qur'an surat al-An'am/6139. 4) Masalah ad-Dzihar, suatu kebiasaan buruk yang juga cukup aneh pada orang Arab Jahiliah, berupa pernyataan seorang lelaki kepada istrinya bahwa istrinya itu baginya seperti punggung (Zahr) ibunya, sehingga terlarang bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri, sebagaimana terlarangnya seseorang untuk berbuat hal itu kepada ibunya sendiri. Kutukan terhadap praktek yang menyiksa wanita ini ada dalam surat al-Mujadilah/58:1-3. 5) Masalah al-Ilaa', yaitu kebiasaan sumpah seorang suami untuk tidak bergaul dengan istrinya, sebagai hukuman kepadanya. Pada orang Arab Jahiliyah sumpah itu tanpa batas waktu tertentu, dan dapat berlangsung sampai setahun atau dua tahun. Kitab suci membolehkan sumpah serupa itu jika memang diperlukan tapi hanya sampai batas waktu tiga bulan, atau talak. Sumpah tidak bergaul dengan istri lebih dari empat bulan tanpa menceraikanya adalah tindakan penyiksaan dan perendahan derajat kaum wanita. Larangan praktek ini ada dalam surat al-Baqarah/2:226-227.

Masalah-masalah tersebut diatas adalah sebuah contoh dari proses pembebasan wanita dari kungkungan adat dan kultur yang ada, dari proses pembebasan wanita kemudian diteruskan dengan kesetaraan antara wanita dan laki-laki yang ditandai dengan turunnya risalah Nabi, sudah tentu pembebasan wanita tidak mengingkari adanya perbedaan fisiologis yang menjadi perbedaan alamiah antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan ini menyangkut hak dan kewajiban, begitupula dengan harkat dan martabat , bahkan Rasulullah SAW sendiri ketika menaklukkan kota Makkah baliau bersabda: "al-Hamdu Lillah", segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kamu sekalian dari sikap tercela Jahiliyah. Wahai sekalian manusia, manusia itu hanya dua macam: Yang beriman dan bertaqwa serta mulia pada Allah, dan yang jahat dan sengsara serta hina pada Allah. "Kemudian beliau membaca surat Al Hujuraat/49:13, "Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah agar kamu saling mengenal (dengan sikap saling menghargai). Sesungguhnya yang paling mulia pada Allah diantara kamu ialah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Teliti.

Beranjak pada fase berikutnya dalam rangka pemberdayaan wanita adalah melalui sarana pendidikan yang menurut Qasim Amin terbagi dalam tiga tingkatan, Pertama, pendidikan yang wajib bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan primer atau sekunder. Kedua, pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya. Ketiga, pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya, dalam hal ini perlunya ditekankan pada pendidikan pertama dan kedua sehingga hal tersebut akan menyokong munculnya pendidikan yang ketiga, hal tersebut dapat terealisasikan karea posisi kaum wanita yang menjadi pengasuh dan pendidik anak-anaknya, maka pembekalan perempuan untuk hal ini sangatlah diperlukan bahkan wajib, karena kepribadian dan karakter umat manusia ditentukan bagaimana perempuan mendidik anak-anaknya nantinya yang akan menjadi tunas bangsa, dan dari sinilah bersumbernya sumber daya manusia yang mumpuni akan terbentuk.

Dari sini memunculkan permasalahan yang amat disayangkan, bersumber dari kaum perempuian itu sendiri, reaksi menentang pemikiran rekonstruksi penafsiran kembali fikih wanita terhadap teks-teks agama yang diyakini adalah sebagai hal yang absolut sebagai ketaatan seorang perempuan dalam beragama, dari sini muncul reaksi penentangan atas ide-ide para pejuang-pejuang pembebasan perempuan yang bermaksud memberdayakan kaum perempuan, begitupula sebagian yang menyadari bahwa konsep eksploitasi, peleceha pada sebagian wanita dianggap sebagai komoditas yang dengan demikian hal tersebut bukanlah dianggap suatu pelecehan , di lain pihak di strata politik, pergerakan perempuan sama sekali tidak menyentuh system politik yang ada sehingga dapt membentuk suatu system yang dapat mengakomodasi kepentingan perempuan, dalam hal ini terutama dalam pembentukan konstitusi yang notabene khususnya dalam negara berkembang didominasi kaum laki-laki.

Hal lain yang perlu disebutkan disini dan bisa dikatakan sebagai faktor external yang menghambat perjuangan kaum perempuan adalah sikap laki-laki yang acapkali identik dengan sikap "Fear of Success" bila ternyata pasangannya mempunyai posisi lebih daripadanya, hal ini juga terlihat bahwa kenyataannya kaum lelakipun belum siap untuk menerima konsep kesetaraan dan memahaminya melalui perspektif yang berbeda.

Dari sini semuanya dikembalikan kaum perempuan itu sendiri yang berperan sebagai aktor utama tulisan ini, akan kemanakah dia berjalan?, diantara mengikuti laju globalisasi sekaligus tetap mempertahankan ketaatannya dalam menjalankan norma agamanya, karena semua proses tersebut tidak hanya membutuhkan perjuangan, akan tetapi juga kesadaran dari para kaum perempuan untuk dapat mengidentifikasikan mana yang perlu diambil dan mana yang perlu ditinggalkan tanpa harus terpuruk pada kungkungan-kungkungan tradisi yang tidak diketahui keabsahannya, mengikuti alur globalisasi bukan berarti menanggalkan kepercayan ynag sudah dianut. Akan tetapi hal itu menambah tuntutan bagi perempuan untuk dapat lebih arif mengkaji ulang atas apa yang sudah diyakini sebagai kepercayaan.
Oleh: Kamilia Hamidah

No comments: