Mengingat ulang Deklarasi Meksiko 1975 tentang Kesetaraan Perempuan (Equality of Women) dan apa yang mungkin dapat mereka sumbangkan demi pengembangan sumberdaya manusia dan kedamaian dunia, dalam deklarasi ini menyebutkan bahwa perempuan adalah sebagai aktor vital dalam upaya mempromosikan kedamaian dunia dari berbagi sektor mulai dari keluarga, komunitas masyarakat dan partisipasi dalam politik. Indonesia menjadi salah satu dari 101 negara yang turut meratifikasi ICCPR yang menjadi landasan legal dalam pelaksanaan hak-hak perempuan di negara yang bersangkutan dalam rangka pemenuhan standar hak asasi manusia yang didalamnya termasuk hak perempuan.
Dalam rangka memberdayakan perempuan dan hak untuk turut serta dalam aktifitas politik, PBB mengeluarkan resolusi pemenuhan 30 persen quota perempuan di lembaga legislatif sebagai suatu upaya bahwa quota tersebut sebagai jaminan atas hak perempuan untuk turut aktif dalam perpolitikan nasional.
Dalam kaitannya dengan pemenuhan kuota 30 persen ini, dunia perpolitikan kita tergetar dengan maraknya partai-partai politik yang ingin menjaring calon anggota legislatif perempuan. Pemaksaan para pemimpin partai untuk memenuhi kuota 30 persen ini seringkali menjadi tanda tanya besar bagi berbagai kalangan pemerhati politik, yang menjadi masalah disini adalah adanya kesan pemaksaan yang hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan untuk dapat berunjuk gigi sebagai wakil rakyat yang betul-betul dapat mewakili aspirasi rakyat, sementara itu dilain pihak jikalau wakil perempuan di legislatif berhasil maka tanda tanya soal kelayakan perempuan menduduki kuota 30 persen tidak perlu diragukan lagi.
Penggalan syair lagu:... "...Diciptakan alam pria dan wanita… wanita dijajah pria sejak dulu…". Kalau tidak salah, lagu ini berjudul Sabda Alam, ciptaan Ismail Marzuki. Lagu yang berbau male chauvinist ini pada masanya dinyanyikan begitu saja baik oleh laki-laki maupun perempuan tanpa ada beban politik gender apapun, saat itu seperti tidak ada masalah gender yang mendasari batas antara laki-laki dan perempuan, hal ini disebabkan karena pada masa awal kemerdekaan hingga 1960-an pertisipasi perempuan adalah sangat aktifnya sehingga pada masa itu kita mendapatkan banyak sekali pejuang-pejuang perempuan yang turut serta berjuang demi kemerdekaan indonesia, sebut saja Cut Nyak Dien, Ibu Kartini, Dewi Sartika. Kemudian di era tahun 60-an sejarah mencatat partisipasi perempuan dalam politik terasa amat tinggi. Misalnya sejarah telah mencatat Ibu Supeni, Ibu SK Trimurti, Ibu Walandao dan Ibu Maria Ulfah.
Akan tetapi kondisi yang telah kondusif bagi peran perempuan dalam perpolitikan nasional ini kemudian berbalik arah menginjak era orde baru. Kekuasaan yang cenderung militer akhirnya mengubah tatanan kesetaraan yang telah terbentuk sejak era kemerdekaan berubah, feature pemerintahan yang berbau male oriented, berbau kekerasan pada ujungnya menempatkan peran perempuan sebatas sebagai pendamping, dan hal ini semakin memojokkan perempuan pada posisi yang semakin termarginalkan, terlebih lagi dengan dibentuknya wadah yang waktu itu amat populer dengan sebutan Dharma Wanita.
Kebijakan ini tidak menyedapkan bagi para aktifis perempuan yang tergabung dalam Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang mana organisasi ini bertahan secara konsisten mewarisi sikap dan kepribadian para perempuan diawal kemerdekaan. Gerakan ini akhirnya tengelam dengan mainstream yang menempatkan perempuan hanya sebatas pendamping, terlebih dengan maraknya istilah “ibu-ibu arisan” dan “ibu-ibu pejabat” yang berkonotasi kehidupan yang hedonisme dan kumpulan wanita-wanita kelas “atas”.
Arus mainstream ini berjalan puluhan tahun sehingga hanya sedikit muncul perempuan-perempuan yang gigih dengan semangat juang Kowani dan memperjuangkan cita-cita Kartini ditengah-tengah arus yang menempatkan perempuan pada posisi yang sangat termarginalkan.
Era reformasi sedikitnya telah mengubah wacana yang ada, peran perempuan menjadi semakin tersalurkan, akan tetapi perempuan yang mempunyai integritas tinggi lebih cenderung memilih untuk bergabung pada LSM yang sifatnya non-govermental, skeptisnya kaum perempuan untuk bergabung dengan partai politik yang ada dikarenakan partai-partai tersebut kurang memperhatikan aspirasi kaum perempuan, sehingga yang didapati para aktifis perempuan cenderung untuk membentuk partai yang barbasis gender seperti halnya yang dilakukan Toety Heraty dan kawan-kawan (Partai Perempuan).
Hal ini dapat dijadikan wacana bagaimana sulitnya menjaring aktifis perempuan untuk bergabung dalam partai politik, jangankan perempuan untuk menjaring aktifis laki-laki ke dalam partai politik pun sangat sulit, hal tersebut dikarenakan adanya degradasi etika dan moral dalam perpolitikan nasional membuat para aktifis-aktifis tersebut lebih memilih untuk berkiprah diluar parpol.
Dan pemaksaan para pemimpin parpol untuk dapat memnuhi kuota 30 persen perempuan di legislatif mengundang banyak kesangsian, jangan-jangan ini hanya sekedar formalitas agar dapat lulus seleksi partai agar dapat masuk dalam pemilu tanpa dilatarbelakangi oleh kompetensi dari para caleg-caleg tersebut.
Kesangsian-kesangsian akan kompetensi kaum perempuan untuk berkiprah di perpolitikan nasional membuat tantangan tersendiri, kenapa bidang politik? Karena dari sinilah bermuaranya segala kebijakan tentang masalah perempuan dapat terakomadasikan secara proporsional. Dan resolusi PBB menjadi motivasi vital bagi kaum perempuan untuk dapat membuktikan perannya dalam perpolitikan nasional tanpa dipengaruhi oleh politik maskulinitas atau partai politik tertentu, hal ini dapat dicapai dengan cara pengefektifan peran perempuan secara berkesinambungan yang antara lain dengan cara;
Pertama, para politisi perempuan harus aktif dengan lembaga-lembaga kajian perempuan karena dari hasil kajian-kajian dan penelitian dari lembaga-lembaga tersebut dapat dijadikan input yang penting dalam pengambilan keputusan.
Kedua, para politisi perempuan diharapkan dapat mencapai kemandirian politik tanpa dibayangi oleh politik kaum lelaki atau partai politik tertentu, karena pada kenyataannya kemandirian politik bagi kaum perempuan menjadi barang yang langka dalam kancah perpolitikan nasional.
Ketiga, dalam menjalankan peran politik formalnya, politisi perempuan harus menjaga kesetaraannya dengan laki-laki. Kesempatan berpolitik formal bagi perempuan merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang wajar. Karena kelangsungan hidup politik bangsa ini pun juga membutuhkan sentuhan perempuan baik sebagai subjek maupun objek.
Keempat, kesempatan berpolitisi ini para politisi perempuan diharapkan dapat menjaga kesetaraan, dalam artian bahwa kesempatan kuota 30 persen ini jangan dijadikan sebagai arena balas dendam kerena selama ini menjadi objek maskulinitas kaum lelaki.
Dalam rangka memberdayakan perempuan dan hak untuk turut serta dalam aktifitas politik, PBB mengeluarkan resolusi pemenuhan 30 persen quota perempuan di lembaga legislatif sebagai suatu upaya bahwa quota tersebut sebagai jaminan atas hak perempuan untuk turut aktif dalam perpolitikan nasional.
Dalam kaitannya dengan pemenuhan kuota 30 persen ini, dunia perpolitikan kita tergetar dengan maraknya partai-partai politik yang ingin menjaring calon anggota legislatif perempuan. Pemaksaan para pemimpin partai untuk memenuhi kuota 30 persen ini seringkali menjadi tanda tanya besar bagi berbagai kalangan pemerhati politik, yang menjadi masalah disini adalah adanya kesan pemaksaan yang hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan untuk dapat berunjuk gigi sebagai wakil rakyat yang betul-betul dapat mewakili aspirasi rakyat, sementara itu dilain pihak jikalau wakil perempuan di legislatif berhasil maka tanda tanya soal kelayakan perempuan menduduki kuota 30 persen tidak perlu diragukan lagi.
Penggalan syair lagu:... "...Diciptakan alam pria dan wanita… wanita dijajah pria sejak dulu…". Kalau tidak salah, lagu ini berjudul Sabda Alam, ciptaan Ismail Marzuki. Lagu yang berbau male chauvinist ini pada masanya dinyanyikan begitu saja baik oleh laki-laki maupun perempuan tanpa ada beban politik gender apapun, saat itu seperti tidak ada masalah gender yang mendasari batas antara laki-laki dan perempuan, hal ini disebabkan karena pada masa awal kemerdekaan hingga 1960-an pertisipasi perempuan adalah sangat aktifnya sehingga pada masa itu kita mendapatkan banyak sekali pejuang-pejuang perempuan yang turut serta berjuang demi kemerdekaan indonesia, sebut saja Cut Nyak Dien, Ibu Kartini, Dewi Sartika. Kemudian di era tahun 60-an sejarah mencatat partisipasi perempuan dalam politik terasa amat tinggi. Misalnya sejarah telah mencatat Ibu Supeni, Ibu SK Trimurti, Ibu Walandao dan Ibu Maria Ulfah.
Akan tetapi kondisi yang telah kondusif bagi peran perempuan dalam perpolitikan nasional ini kemudian berbalik arah menginjak era orde baru. Kekuasaan yang cenderung militer akhirnya mengubah tatanan kesetaraan yang telah terbentuk sejak era kemerdekaan berubah, feature pemerintahan yang berbau male oriented, berbau kekerasan pada ujungnya menempatkan peran perempuan sebatas sebagai pendamping, dan hal ini semakin memojokkan perempuan pada posisi yang semakin termarginalkan, terlebih lagi dengan dibentuknya wadah yang waktu itu amat populer dengan sebutan Dharma Wanita.
Kebijakan ini tidak menyedapkan bagi para aktifis perempuan yang tergabung dalam Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang mana organisasi ini bertahan secara konsisten mewarisi sikap dan kepribadian para perempuan diawal kemerdekaan. Gerakan ini akhirnya tengelam dengan mainstream yang menempatkan perempuan hanya sebatas pendamping, terlebih dengan maraknya istilah “ibu-ibu arisan” dan “ibu-ibu pejabat” yang berkonotasi kehidupan yang hedonisme dan kumpulan wanita-wanita kelas “atas”.
Arus mainstream ini berjalan puluhan tahun sehingga hanya sedikit muncul perempuan-perempuan yang gigih dengan semangat juang Kowani dan memperjuangkan cita-cita Kartini ditengah-tengah arus yang menempatkan perempuan pada posisi yang sangat termarginalkan.
Era reformasi sedikitnya telah mengubah wacana yang ada, peran perempuan menjadi semakin tersalurkan, akan tetapi perempuan yang mempunyai integritas tinggi lebih cenderung memilih untuk bergabung pada LSM yang sifatnya non-govermental, skeptisnya kaum perempuan untuk bergabung dengan partai politik yang ada dikarenakan partai-partai tersebut kurang memperhatikan aspirasi kaum perempuan, sehingga yang didapati para aktifis perempuan cenderung untuk membentuk partai yang barbasis gender seperti halnya yang dilakukan Toety Heraty dan kawan-kawan (Partai Perempuan).
Hal ini dapat dijadikan wacana bagaimana sulitnya menjaring aktifis perempuan untuk bergabung dalam partai politik, jangankan perempuan untuk menjaring aktifis laki-laki ke dalam partai politik pun sangat sulit, hal tersebut dikarenakan adanya degradasi etika dan moral dalam perpolitikan nasional membuat para aktifis-aktifis tersebut lebih memilih untuk berkiprah diluar parpol.
Dan pemaksaan para pemimpin parpol untuk dapat memnuhi kuota 30 persen perempuan di legislatif mengundang banyak kesangsian, jangan-jangan ini hanya sekedar formalitas agar dapat lulus seleksi partai agar dapat masuk dalam pemilu tanpa dilatarbelakangi oleh kompetensi dari para caleg-caleg tersebut.
Kesangsian-kesangsian akan kompetensi kaum perempuan untuk berkiprah di perpolitikan nasional membuat tantangan tersendiri, kenapa bidang politik? Karena dari sinilah bermuaranya segala kebijakan tentang masalah perempuan dapat terakomadasikan secara proporsional. Dan resolusi PBB menjadi motivasi vital bagi kaum perempuan untuk dapat membuktikan perannya dalam perpolitikan nasional tanpa dipengaruhi oleh politik maskulinitas atau partai politik tertentu, hal ini dapat dicapai dengan cara pengefektifan peran perempuan secara berkesinambungan yang antara lain dengan cara;
Pertama, para politisi perempuan harus aktif dengan lembaga-lembaga kajian perempuan karena dari hasil kajian-kajian dan penelitian dari lembaga-lembaga tersebut dapat dijadikan input yang penting dalam pengambilan keputusan.
Kedua, para politisi perempuan diharapkan dapat mencapai kemandirian politik tanpa dibayangi oleh politik kaum lelaki atau partai politik tertentu, karena pada kenyataannya kemandirian politik bagi kaum perempuan menjadi barang yang langka dalam kancah perpolitikan nasional.
Ketiga, dalam menjalankan peran politik formalnya, politisi perempuan harus menjaga kesetaraannya dengan laki-laki. Kesempatan berpolitik formal bagi perempuan merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang wajar. Karena kelangsungan hidup politik bangsa ini pun juga membutuhkan sentuhan perempuan baik sebagai subjek maupun objek.
Keempat, kesempatan berpolitisi ini para politisi perempuan diharapkan dapat menjaga kesetaraan, dalam artian bahwa kesempatan kuota 30 persen ini jangan dijadikan sebagai arena balas dendam kerena selama ini menjadi objek maskulinitas kaum lelaki.
2 comments:
tes..
nganyari omah.. wakakkakaka
hehehe...belum keisi masih prosen mindahin konten biar ngga terkontaminasi sama blogvertise hehe
Post a Comment