Tuesday 14 September 2010

Agama di Era Deprivasi

Dalam sebuah artikel tentang Religion and Global Politic, Explaining Deprivation yang di tulis oleh Jeff Hayness, menyebutkan bahwa, munculnya solidaritas keagamaan adalah sebentuk keniscayaan dari sebuah proses perputaran modernisasi. Banyak kalangan yang sudah memprediksikan kembalinya agama dalam ranah publik.

Dengan arus modernisasi dan globalisasi, peran agama semakin termarginalkan sehingga agama tidak lebih ditempatkan dalam sisi yang paling pribadi. Dalam suatu negara dimana besar kemungkinan konflik horizontal antar agama terjadi, para negarawan cenderung menggiring rakyatnya menuju sebuah proses agama madani, atau disebut civil religion, hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan agama minoritas yang ada dalam negara tersebut. Mungkin di satu sisi akan menumbuhkan terciptanya kebersamaan dalam perbedaan agama, akan tetapi di sisi lain semakin mempersempit lingkup agama di ruang publik, sehingga hal ini makin membuat agama menjadi tersisih dari peran publik.

Sebagai proses cycling, agama madani akan sampai pada puncaknya ketika solusi masalah sosial tidak terpecahkan dengan kebijakan publik yang dicanangkan oleh pemerintah, biasanya hal ini sering terjadi dengan permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, yang berimbas pada meningkatnya pengangguran dan kriminalitas. Di saat inilah pada akhirnya agama memerankan perannya untuk menggandeng masyarakat untuk lebih kuat dalam menghadapi resesi ekonomi dan permasalahan sosial lainnya. Apakah dengan ini lalu dikatakan sebagai kembalinya agama di publik?

Tentu tidak, akan tetapi persenyawaan atas termarjinalnya agama dari lingkup publik dan lemahnya agama madani untuk memberikan kenyamanan dalam masyarakat, menjadikan agama tertentu atau kelompok tertentu muncul ke ranah publik dan mencoba menggeser kebijakan pemerintah yang ingin selalu menekan perbedaan antar agama dalam selubung civil religion.

Dalam kasus rencana pembakaran Alqur’an yang di lakukan oleh jamaah Gereja Gainesville Florida adalah sebuah bukti kongkrit kembalinya agama dalam ranah publik dan sebuah akumulasi atas lelahnya masyarakat dengan civil religion, sehingga agama keluar dari batas strategis yang semestinya sebagai penjaga kebersamaan keagamaan guna meminimalisir konflik horizontal antar agama, baik itu di level domestik maupun global.

Rencana ini tidak hanya memicu kecaman dari kalangan pejabat dan pemimpin negara, bahkan sejumlah organisasi keagamaan di AS juga melakukan penolakan yang sama, seperti banyak diberitakan di media massa kita, penolakan dilakukan oleh National Association of Evangelicals (NAE-Asosiasi Evangelis Nasional), the Southern Baptist Convention (Konvensi Babtis Selatan) The Anti-Defamation Leagus dan bahkan gereja-gejera lain yang ada di Gainesville, Florida. Bahkan rencana aksi ini juga mengundang reaksi keras dari komandan pasukan AS yang di Afghanistan.

Terlepas dengan banyaknya kecaman dan tanggapan keras dari berbagai kalangan, tidak menutup kemungkinan rencana ini justru sengaja di gunakan oleh sebagian kalangan untuk mencoba mencoreng keharmonisan antar ummat beragama. Karena tidak menutup kemungkinan aksi ini tentunya akan menimbulkan reaksi keras, terutama dari negara-negara dengan mayoritas muslim dan hal tersebut tentu dapat berimplikasi pada aksi sweeping pada jamaah Kristiani atau yang lebih luas lagi, merenggangkan hubungan antar negara.

Untuk menganalisa kembalinya agama dalam ranah publik dalam kasus Eropa, mungkin perlu dipahami, bahwa banyaknya organisasi keagamaan yang meleburkan aktifitas mereka di semua lini, baik itu politik, sosial dan moral, sehingga tidak mengherankan aktifitas organisasi keagamaan ini secara tidak langsung berpengaruh pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Sekitar seperempat abad yang lalu, ketika beberapa tokoh-tokoh kenamaan seperti Mark, Durkheim, Weber menyatakan bahwa sekularisme, memerlukan perubahan yang kompleks, baik itu secara struktural dan ideology demi menuju kemajuan politik, dari sinilah kemudian semakin mengikisnya pengaruh agama dalam masyarakat.

Tentu disadari atau tidak, agama adalah bagian integral dari sebuah komunitas, sehingga ketika kultur, identitas suatu kelompok tertentu teralienasi dengan berkembangnya isme yang mengatasnamakan kebersamaan keagamaan atau yang disebut sebagai agama madani (civil religion), maka tidak mengherankan agama akan menjelma sebagai kekuatan kelompok solidaritas yang bertujuan untuk memperlambat proses transisi kultural dalam sebuah masyarakat modern.

Jadi menurut hemat penulis, isu rencana pembakaran Alqur’an semestinya tidak memicu emosi umat Islam, akan tetapi rencana ini semata dikaji dari perspektif yang lebih bijak dan arif. Sehingga tidak terpicu secara emosional.

No comments: